Warta PELUNCURAN BUKU TASAWUF

Iman dan Fikih Saja Tidak Cukup

NU Online  ·  Sabtu, 9 Desember 2006 | 02:50 WIB

Jakarta, NU Online
Bidang ilmu tasawuf kurang banyak dikenal oleh umat Islam. Sementara ini umat Islam hanya bergelut dengan dua bidang saja, yakni ilmu kalam atau theologi yang menandai persoalan keimanan kepada Allah SWT dan syari’ah yang berorientasai pada pendekatan beragama secara legal formal atau fikih.

Padahal substansi Islam sesungguhnya ada dalam ajaran mengenai etika, yakni bagaimana memosisikan diri secara tepat dalam kehidupan sosial yang selalu berubah dan berbenah, dan ajaran itu ada pada bidang keilmuan tasawuf. Ketika hanya difahami sebagai iman dan fikih, maka Islam menjadi kaku dan sangar.

<>

“Theologi penting dalam rangka meningkatkan keyakinan kita. Kemudian fikih juga penting dalam penataan hukum. Lalu tasawuf berfungsi untuk melengkapi dua bagian penting dalam Islam yang sering dikemukakan,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Dr. A. Hasyim Muzadi saat memberikan sambutan dalam peluncuran buku KH. Sa’id Aqil Siradj bertajuk “Tasawuf sebagai keritik sosial” di Jakarta, Jum’at (8/12) malam.

Dikatakan Hasyim, pada masa Rasullullah SAW masih hidup, tidak ada bidang keilmuan apapun karena semua persoalan agama langsung dapat dipertanyakan kepada beliau. Setelah Rasul meninggal, umat Islam terfragmentasi dalam beberapa fokus pemahaman tentang bagaimana berislam.

“Yang ahli theologi kemudian mengatakan mereka yang paling murni Islamnya. Yang ahli fikih mengatakan bahwa Islam haya bisa diamalkan melalui pendekatan legal formal. Kedua belah fihak merasa paling benar. Nah, perseteruan antara ahli theologi dan fikih ini sempat didamaikan oleh Al-Ghozali dengan pendekatan tasawuf,” kata Hasyim.

Selama ini, lanjut pengasuh pondok pesantren Al-Hikam Malang itu, oleh umat Islam tasawuf memang sering diidentikkan praktik beagama yang mengasingkan diri dari kehidupan sosial. Tasawuf identik dengan gua-gua dan pengasingan diri dari kehidupan duniawi. Ini tidak benar.

KH. Siaid Aqil Siraj menimpali, penemu teori aljabar adalah Jabil bin Hayyan yang adalah seorang sufi (sebutan untuk pengamal tasawuf) yang pertama. Lalu ada Abu Hasan Assyadili adalah penemu teknologi pertanian yang sukses dan mampu memberikan beasiswa kepada ratusan muridnya. Fariduddin Al-Atthar adalah pedagang yang sukses, punya pabrik parfum terbesar waktu itu.

Tasawuf adalah revolusi spiritual. Secara sederhana tasawuf didefinisikan sebagai kondisi hamba yang selalu hadir bersama tuhan, atau merasakan bahwa tuhan hadir bersama dirinya. Tasawuf, kata Kang Said (panggilan akrab KH. Siaid Aqil Siraj), paling tidak melahirkan dua hal, yakni khouf atau takut kepada tuhan dan roja' atau optimisme terhadap semua kehendak Tuhan.

“Kita berada di tengah-tengah kedua hal itu. Kalau kita hanya khouf kita kemudian menjadi penakut dan pasif, seakan-akan tuhan itu galak. Tetapi kalau kita hanya roja' maka yang muncul tidak hanya optimisme dan kreatifitas, tapi kita kemudian menjadi liberal, apa-apa boleh,” kata Kang Said. (nam)