Islam Nusantara Berakulturasi dengan Kebudayaan Jawa dan Tionghoa
NU Online · Selasa, 16 September 2008 | 02:34 WIB
Islam dikenal sebagai agama global, universal, yang tidak pernah mengenal etnis atau perbedaan apapun. Yang membedakan manusia di hadapan Allah hanyalah takwa. Hubungan baik antara etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi yang mayoritas beragama Islam pun sudah lama tejalin.
Hal tersebut diungkapkan R. Sunarto, pemerhati budaya Tionghoa, di Semarang, Senin (15/9). Menurutnya, pengaruh budaya Tionghoa dalam berbagai segi kehidupan sehari-hari seperti makanan terlihat jelas. Di antarnya seperti tahu, tempe, bakso, bakwan, bakpao, bakpia, lontong cap go meh.<>
Dijelaskan, budaya-budaya Tionghoa juga masuk dalam arsitektur dan bahasa. Dalam arsitektur masjid di negara Cina, perpaduan antara budaya Islam dan Tionghoa sangat tampak. Hampir seluruh masjid di sana berarsitektur Tiongkok. Hal itu sangat berbeda dengan arsitektur masjid di Indonesia, di mana arsitektur yang digunakan bukan arsitektur Jawa tapi Timur Tengah.
"Lihat saja ke Masjid Glagah Wangi di Demak. Ornamen kura-kura di sana motifnya digunakan untuk menunjukkan tahun dimulainya pembangunan masjid yaitu tahun 1401 saka atau 1473 Masehi. Yang membangun adalah para pekerja galangan kapal di Semarang yang terdiri atas orang-orang Tionghoa. Sehingga diberilah tanda kura-kura," tuturnya.
Selain itu, akulturasi budaya juga tampak dalam bedug. Alat penanda azan itu ternyata berasal dari Tiongkok. Sampai sekarang pun, tidak pernah ada bedug di Arab untuk penanda azan salat lima waktu. Kemudian atap pagoda di Masjid Banten. Lalu budaya membakar petasan saat Ramadhan dan menjelang Idul Fitri yang asalnya dari Tiongkok.
"Budaya-budaya inilah yang sekarang sudah membaur atau berakulturasi dengan budaya lokal," imbuhnya.
Dikatakan, orang-orang Tionghoa zaman dulu sudah mengenal puasa. Bahkan, jauh sebelum agama-agama lain masuk ke sana. "Agama purba yang ada di Tiongkok dikenal dengan Thao Lik atau agama kebajikan atau ajaran kebajikan," katanya.
Ditambahkan, peranan orang-orang Tionghoa dalam perjalanan pengembangan agama Islam di Indonesia terutama di Jawa datang dari Campa yang sekarang menjadi daerah Vietnam. Pada waktu itu, orang-orang Mongolia yang bernama Jenderal Nasarudin memegang daerah Campa, lalu mereka menyebarkan agama Islam ke Asia Tenggara hingga ke Nusantara.
Kala itu mahzab yang dibawa orang-orang Tionghoa dari Campa sampai Filipina, Samba sampai Kalimantan Barat, Palembang lalu Jawa adalah mahzab Hanafi. Agama Islam disiarkan oleh orang-orang yang tinggal di pinggir pantai. Salah satunya adalah Bong Sui Ho. Bong Sui Ho dikirim oleh Bong Tak Keng, penguasa Campa.
"Dia mendarat di Bangil di muara sungai Porong, karena banjir dia pindah ke Ampel. Bong Sui Ho kemudian dikenal dengan Sunan Ampel," kata Sunarto. (sam)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat HUT Ke-80 RI: 3 Pilar Islami dalam Mewujudkan Indonesia Maju
2
5 Poin Maklumat PCNU Pati Jelang Aksi 13 Agustus 2025 Esok
3
Kantor Bupati Pati Dipenuhi 14 Ribu Kardus Air Mineral, Demo Tak Ditunggangi Pihak Manapun
4
Nusron Wahid Klarifikasi soal Isu Kepemilikan Tanah, Petani Desak Pemerintah Laksanakan Reforma Agraria
5
Badai Perlawanan Rakyat Pati
6
Sri Mulyani Sebut Bayar Pajak Sama Mulianya dengan Zakat dan Wakaf
Terkini
Lihat Semua