Warta

Kembangkan Dakwah Model Walisongo

Sel, 7 November 2006 | 10:43 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi mengungkapkan bahwa kita harus mencontoh metode dakwah yang dikembangkan oleh walisongo yang telah berhasil mengembangkan Islam di Indonesia meskipun mereka sebelumnya telah menganut ajaran lain.

“Mereka berhasil bukan karena banyaknya referensi, tetapi karena kepribadian dan metodologi,” katanya dalam acara halal bi halal dan penandatanganan MoU pengembangan dai di daerah transmigrasi antara LDNU dan Depnakertrans di Jakarta, Selasa.

<>

Namun sangat disayangkan jika saat ini semangat dalam berdakwah sekarang ini sudah digantikan dengan semangat melakukan propaganda dan berghibah melalui infotainment dan perilaku lainnya yang malah merusak masyarakat.

Pesantrenkan Calon Dai

Untuk memaksimalkan pelaksanaan dakwah, mantan ketua PWNU Jatim tersebut mengusulkan untuk mendidik anak-anak dari daerah untuk belajar di pesantren guna menuntut ilmu dan setelah pandai mereka kembali ke daerahnya masing-masing.

“Ini biayanya lebih murah daripada mengirimkan dai dari daerah lain. Selain itu dakwahnya akan lebih berhasil karena mereka tahu kondisi daerahnya sendiri,” tandasnya.

Daerah-daerah yang diusulkan menjadi sasaran bagi para dai untuk dikader seperti Ambon, NTT dan Papua. Saat ini PBNU telah memiliki 60 santri binaan dari Ambon yang dititipkan di beberapa pesantren seperti Tambak Beras Jombang, At Tauhid Surabaya, Darul Ulum Peterongan dan di sebuah pesantren di Bondowoso.

Dijelaskannya bahwa pendidikan di pesantren akan membuat para dai memiliki ruhul mujahadah dan ruhul jihad daripada pendidikan di sekolah. “Lulusan pesantrenlah yang mampu dan mau berjuang dalam kondisi yang sulit yang orang lain tidak mau mendatanginya,” imbuhnya.

Pengasuh Ponpes Mahasiswa Al Hikam Malang tersebut juga meminta LDNU untuk meningkatkan jaringannya di bawah agar dakwah yang dilakukan semakin berhasil.

Pahami Kondisi Lokal

Sementara itu, Dirjen Bimas Islam Depag Prof. Dr. Nasaruddin Umar MA mengungkapkan bahwa dai harus memahami kondisi lokal tempatnya berdakwah. Ia menceritakan pengalaman seorang dai yang baru seminggu sudah pulang karena tak kerasan ketika dikirimkan ke Papua. Ini terjadi karena sang dai tak memahami kondisi tempatnya berdakwah.

“Mereka tak bisa membayangkan harus tidur diatas kasur jerami dan mengolesi tubuhnya dengan minyak babi agar bisa terhindar dari malaria,” tandasnya.

Namun ia mendorong para dai berdakwah di daerah-daerah terpencil tersebut karena banyak pengalaman menarik yang akan didapat. “Ini seharusnya menjadi tantangan bagi anak-anak Ansor untuk berdakwah, ada penduduk yang rumahnya berada di atas pohon dan semakin tinggi kedudukan sosialnya, maka rumahnya semakin tinggi,” tandas Katib Aam PBNU tersebut menceritakan kembali salah satu pengalaman dari peserta 1000 dai sarjana ke daerah terpencil. (mkf)