Jakarta, NU Online
Menjamurnya lembaga-lembaga penerimaan zakat memang cukup membantu yang mensosialisasikan zakat kepada khalayak, terutama masyarakat kelas menengah ke atas. Namun kemunculan lembaga-lembaga ini, baik yang dilahirkan oleh keputusan pemerintah (Baznas) maupun yang independen, juga menimbulkan tanda tanya tersendiri di kalangan masyarakat Muslim Indonesia.
Sudahkah mereka bekerja dengan maksimal dan sesuai peraturan syariat Islam dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, ataukah diperlukan adanya lembaga pengawasan pengelolaan zakat dengan menyertakan auditor dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Pertanyaan ini muncul dalam diskusi yang berlangsung saat Pengajian Online PBNU di Gedung PBNU, Jl. Kramat Raya Jakarta Pusat (26/9).<>
Rasa ketidakpercayaan ini timbul ketika pada kenyataannya mayoritas masyarakat enggan mendistribusikan dana zakat mereka melalui lembaga-lembaga zakat yang selalu getol menawarkan diri untuk dapat menerima zakat dari para muzakki (pembayar zakat).
Bahkan ketika regulasi pemerintah telah ditetapkan melalui UU No.38 tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dan Kepmen 581 tahun 1999 yang diperbarui dengan Keppres Nomer 373 tahun 2003, juga telah disahkan dan ditunjuk pelaksananya. Tidak hanya sampai di sini, keputusan presiden tersebut juga disertai dengan pengucuran biaya operasional dan penyediaan infrastuktur bagi lembaga penyalur zakat resmi pemerintah.
Diskusi ini menengarai adanya praktik-praktik penyelewengan kewenangan yang oleh para pengelola lembaga zakat. Karenanya semestinya KPK juga dapat disertakan dalam pengawasan dan penghitungan dana-dana zakat, agar dana masyarakat yang terkumpul melalui zakat dapat dipercayai akuntabilitas dan transparansinya.
”Selama ini masyarakat tidak pernah mengetahui, dikemanakan dana yang telah mereka salurkan melalui lembaga-lembaga zakat tersebut, karena pihak pengelola tidak pernah memberikan laporan rincian yang memadai” ungkap Agus Raharjo, salah seorang peserta pengajian di redaksi NU Online.
KH Arwani Faisal yang bertindak selaku pengasuh Pengajian Online, menambahkan, jika saja para pengelola zakat memiliki komitmen yang tinggi pada penyaluran zakat, tentu masyarakat miskin dapat berharap secara realistis untuk menjadi penerima zakat secara merata.
”Sehingga tidak perlu kita mendengar dan menyaksikan berita yang memilukan selama bertahun-tahun tentang tragedi seputar pembagian zakat. Kejadian seperti di pasuruan baru-baru ini adalah akibat dari ketidakpercayaan para pembayar zakat kepada lembaga-lembaga penyalur dan ketidakmerataan distribusi zakat kepada rakyat miskin di sekitar para pembayar zakat,” jelas Arwani.
Lebih lanjut Kyai Arwani, sapaan akrabnya, menjelaskan, tidak diperkenankan memindahkan dana zakat melewati batas ma’thla’ yang telah ditentukan (sekitar 96 km), kecuali ternyata masyarakat di luar mathla'-nya (di luar daerahnya) benar-benar lebih membutuhkan pertolongan dan secara nyata-nyata mengancam kelangsungan hidup, namun tetap tidak boleh semuanya.
”Selama ini para pengelola zakat, termasuk yang dibekali dengan Keppres, tidak pernah memberikan penjelasan yang memadai, kemanakah tujuan distribusi zakat dari para pembayarnya,” tandasnya.
Menanggapi, pernyataan Kepala Badan Pertimbangan Amil Zakat Nasional (Baznas), Didin Hafidudin di media massa beberapa waktu lalutentang tragedi Pasuruan, Kyai Arwani justru berpendapat sebaliknya.
Sebelumnya Didin menyatakan, insiden Pasuruan seharusnya menjadi pelajaran, sesuai dengan tuntunan ajaran Islam zakat tidak baik disalurkan langsung oleh Muzakki kepada Mustahik (penerima zakat). Melainkan justru melalui amil zakat yang bertugas menyalurkan zakat.
Arwani menjelaskan, menjadi zakat secara langsung adalah lebih baik, karena akan terjadi interaksi langsung antar penerima dan pemberi, sehingga jalinan ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama Muslim) dapat semakin erat terjalin.
”Dahulu Nabi memang pernah menyuruh para sahabatnya untuk menarik zakat, namun itu terjadi karena darah-daerah yang jauh sangat enggan mengeluarkan zakat. Nah sekarang justru tingat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga zakat semakin melemah karena mereka tidak pernah menjamin akuntabilitas dan memberikan penjelasan yang memadai,” tandasnya. (min)
Menjamurnya lembaga-lembaga penerimaan zakat memang cukup membantu yang mensosialisasikan zakat kepada khalayak, terutama masyarakat kelas menengah ke atas. Namun kemunculan lembaga-lembaga ini, baik yang dilahirkan oleh keputusan pemerintah (Baznas) maupun yang independen, juga menimbulkan tanda tanya tersendiri di kalangan masyarakat Muslim Indonesia.
Sudahkah mereka bekerja dengan maksimal dan sesuai peraturan syariat Islam dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, ataukah diperlukan adanya lembaga pengawasan pengelolaan zakat dengan menyertakan auditor dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Pertanyaan ini muncul dalam diskusi yang berlangsung saat Pengajian Online PBNU di Gedung PBNU, Jl. Kramat Raya Jakarta Pusat (26/9).<>
Rasa ketidakpercayaan ini timbul ketika pada kenyataannya mayoritas masyarakat enggan mendistribusikan dana zakat mereka melalui lembaga-lembaga zakat yang selalu getol menawarkan diri untuk dapat menerima zakat dari para muzakki (pembayar zakat).
Bahkan ketika regulasi pemerintah telah ditetapkan melalui UU No.38 tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dan Kepmen 581 tahun 1999 yang diperbarui dengan Keppres Nomer 373 tahun 2003, juga telah disahkan dan ditunjuk pelaksananya. Tidak hanya sampai di sini, keputusan presiden tersebut juga disertai dengan pengucuran biaya operasional dan penyediaan infrastuktur bagi lembaga penyalur zakat resmi pemerintah.
Diskusi ini menengarai adanya praktik-praktik penyelewengan kewenangan yang oleh para pengelola lembaga zakat. Karenanya semestinya KPK juga dapat disertakan dalam pengawasan dan penghitungan dana-dana zakat, agar dana masyarakat yang terkumpul melalui zakat dapat dipercayai akuntabilitas dan transparansinya.
”Selama ini masyarakat tidak pernah mengetahui, dikemanakan dana yang telah mereka salurkan melalui lembaga-lembaga zakat tersebut, karena pihak pengelola tidak pernah memberikan laporan rincian yang memadai” ungkap Agus Raharjo, salah seorang peserta pengajian di redaksi NU Online.
KH Arwani Faisal yang bertindak selaku pengasuh Pengajian Online, menambahkan, jika saja para pengelola zakat memiliki komitmen yang tinggi pada penyaluran zakat, tentu masyarakat miskin dapat berharap secara realistis untuk menjadi penerima zakat secara merata.
”Sehingga tidak perlu kita mendengar dan menyaksikan berita yang memilukan selama bertahun-tahun tentang tragedi seputar pembagian zakat. Kejadian seperti di pasuruan baru-baru ini adalah akibat dari ketidakpercayaan para pembayar zakat kepada lembaga-lembaga penyalur dan ketidakmerataan distribusi zakat kepada rakyat miskin di sekitar para pembayar zakat,” jelas Arwani.
Lebih lanjut Kyai Arwani, sapaan akrabnya, menjelaskan, tidak diperkenankan memindahkan dana zakat melewati batas ma’thla’ yang telah ditentukan (sekitar 96 km), kecuali ternyata masyarakat di luar mathla'-nya (di luar daerahnya) benar-benar lebih membutuhkan pertolongan dan secara nyata-nyata mengancam kelangsungan hidup, namun tetap tidak boleh semuanya.
”Selama ini para pengelola zakat, termasuk yang dibekali dengan Keppres, tidak pernah memberikan penjelasan yang memadai, kemanakah tujuan distribusi zakat dari para pembayarnya,” tandasnya.
Menanggapi, pernyataan Kepala Badan Pertimbangan Amil Zakat Nasional (Baznas), Didin Hafidudin di media massa beberapa waktu lalutentang tragedi Pasuruan, Kyai Arwani justru berpendapat sebaliknya.
Sebelumnya Didin menyatakan, insiden Pasuruan seharusnya menjadi pelajaran, sesuai dengan tuntunan ajaran Islam zakat tidak baik disalurkan langsung oleh Muzakki kepada Mustahik (penerima zakat). Melainkan justru melalui amil zakat yang bertugas menyalurkan zakat.
Arwani menjelaskan, menjadi zakat secara langsung adalah lebih baik, karena akan terjadi interaksi langsung antar penerima dan pemberi, sehingga jalinan ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama Muslim) dapat semakin erat terjalin.
”Dahulu Nabi memang pernah menyuruh para sahabatnya untuk menarik zakat, namun itu terjadi karena darah-daerah yang jauh sangat enggan mengeluarkan zakat. Nah sekarang justru tingat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga zakat semakin melemah karena mereka tidak pernah menjamin akuntabilitas dan memberikan penjelasan yang memadai,” tandasnya. (min)
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
Tags:
Warta Lainnya
Terpopuler Warta
-
1
-
2
-
3
-
4
-
5
-
6
-
7
-
8
-
9
Rekomendasi
topik
Opini
-
- Ahmad Rifaldi | Sabtu, 3 Jun 2023
Kritik Sayyid Usman soal Nasab dan Pandangannya tentang Ahlul Bait
-
- Muhammad Syakir NF | Jumat, 2 Jun 2023
Kesetaraan di Pesantren dalam Film Hati Suhita
-
- Arief Rosyid Hasan | Kamis, 1 Jun 2023
Ekologi Spiritual: Merawat Jagat, Mereformasi Bumi
Berita Lainnya
-
Penyediaan Lapangan Kerja Jadi Tantangan Besar Indonesia
- Ketenagakerjaan | Rabu, 7 Jun 2023
-
Alasan PCINU Kaohsiung Taiwan Undang Gus Kautsar di Harlah Ke-5
- Internasional | Rabu, 7 Jun 2023
-
Melihat UMKM Binaan Pertamina di Sukabumi: Dari Bengkel Rumahan ke Jual Beli Kendaraan
- Nasional | Rabu, 7 Jun 2023
-
Kunjungi Siskohat, Irjen Kemenag Pertegas Pelayanan Haji Dilakukan Seoptimal Mungkin
- Nasional | Senin, 5 Jun 2023
-
Lantik Auditor, Irjen Harap Jadi Pemecah Masalah
- Nasional | Senin, 5 Jun 2023
-
Pertamina Dukung Penyelenggaraan 'Lagi-Lagi Tenis' Bersama Rans Entertainment
- Nasional | Ahad, 4 Jun 2023
-
Pemangku Kepentingan Bidang Ketenagkerjaan Deklarasikan Komitmen Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual
- Ketenagakerjaan | Kamis, 1 Jun 2023
-
Ajang Inovasi 2023, Pertamina Catat Penciptaan Nilai Hingga Rp12 Triliun
- Nasional | Kamis, 1 Jun 2023
-
Polteknaker Harus Terus Berinovasi Wujudkan SDM Unggul
- Ketenagakerjaan | Rabu, 31 Mei 2023