Warta PENENTUAN AWAL SYAWAL 1432 H

Lajnah Falakiyah: Perbedaan Terjadi Karena Beda Memahami

Sen, 29 Agustus 2011 | 07:01 WIB

Jakarta, NU Online
Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdlaltul Ulama (PBNU) mengimbau umat Islam agar menyikapi perbedaan dengan bijaksana. Hal ini disampaikan terkait kemungkinan terjadinya perbedaan hari raya Idul Fitri 1432 H tahun ini.<>

“Kami mengimbau umat Islam khususnya warga Nahdliyin agar bijaksana dalam mensikapi perbedaan yang terjadi, tidak hanya melihat ananiyah (fanatisme: red) organisasinya tetapi melihat kepentingan umat Islam dan bangsa secara keseluruhan,” kata kata Ketua Lajnah Falakiyah PBNU KH Ghazalie Masroeri kepada NU Online di Jakarta, Ahad (28/8) kemarin.

Menurutnya, perbedaan terjadi karena masih ada perbedaan di antara ormas, tarekat dan para ahli falak dalam memahami hilal. Selebihnya adalah persoalan perbedaan metode yang dipakai.

Data hisab dalam Almanak PBNU 2011 yang diterbitkan oleh Lajnah Falakiyah menunjukkan, ijtima’ awal bulan Syawal terjadi pada Senin (29/8) pukul 10.01, sementara tinggi hilal saat diadakan rukyatul hilal pada hari yang sama diperkirakan hanya mencapai 1 derajat 48 menit di atas ufuk. Data ini dinyatakan belum memenuhi kriteria imkanurrukyat atau visibilitas pengamatan sehingga hilal tidak bisa terlihat.

Namun seperti diwartakan, Muhammadiyah telah mengumumkan 1 Syawal 1432 H jatuh pada 30 Agustus 2011 besok, atau puasa Ramadhan hanya 29 hari. Hal ini karena Muhammadiyah memakai kriteria hisab wujudul hilal (hilal telah ada: red), yakni asal bulan sudah di atas ufuk dan tidak perlu dilakukan rukyatul hilal, sehingga otomatis mengabaikan kriteria imkanurrukyat.

“Bagi saya dan beberapa ahli falak dan astronomi, kriteria wujudul hilal itu tidak ada. Yang ada wujudul qomar (qamar = bulan), karena hilal atau bulan sabit kan harus bisa dilihat," kata Kiai Ghazalie.

Sementara seperti Muhammadiyah, Persis yang juga hanya memakai hisab mengumumkan 1 Syawal pada hari yang berbeda, 31 Agustur 2011. Karena meski tidak mensyaratkan harus dilakukan rukyatul hilal, persis masih memakai kriteria imkanurrukyat.

“Ini adalah tugas para ahli adalah pemimpin ormas untuk menyamakan pemahaman tentang hilal dan menyamakan metode penentuan awal bulan,” kata Kiai Ghazalie.

Menurutnya, sudah beberapa kali diadakan pertemuan antar ormas dan pemerintah, namun belum ada titik temu. NU Online sendiri pernah meliput pertemuan antar ormas dan ahli falak di beberapa tempat antara lain di kantor PBNU Jakarta, Kantor Pusat Muhammadiyah Yogyakarta, dan Masjid Salman ITB Bandung, namun masing-masing ormas masih belum satu pendapat.

Ditambahkan Kiai Ghazali, selain perbedaan diantara ormas, perbedaan juga terjadi pada beberapa tarekat, seperti tarekat Naqsabandiyah di Sumbar dan Tarekat Satariyah. Tarekat Naqsabandiyah di Sumbar selalu puasa dan lebaran lebih dulu, sementara Satariyah malah lebih lambat satu hari dari yang ditetapkan pemerintah.

“Naqsabandiyah di Sumbar mempunyai cara sendiri dalam menentukan awal bulan. Mereka menghitung awal bulan itu dari bulan purnama, persisnya saya kurang begitu tahu. Sementara Satariyah memang melakukan rukyatul hilal tetapi mereka hanya mengakui rukyat yang dilakukan oleh mereka sendiri atau bersifat lokal. Karena bulan kemarin mereka tidak melihat hilal, maka kemungkinan mereka akan lebaran lebih lambat,” kata Kiai Ghazalie.

Tarekat yang lain di Makassar menentukan awal bulan berdasarkan pasang surut air laut. Namun, Kiai Ghazali menegaskan, penentuan awal bulan oleh tarekat-tarekat ini hanya dilakukan oleh para pengikut dan bersifat lokal. “Persolan perbedaan hari raya oleh tarekat ini kan dibesar-besarkan oleh media,” pungkasnya.

Penulis: A. Khoirul Anam