Warta

Masdar: Masjid-masjid NU Harus Dipertahankan

Jum, 25 Agustus 2006 | 13:19 WIB

Jakarta, NU Online
Lepasnya masjid-masjid yang dulu dikelola oleh warga NU harus menjadi keprihatinan bersama agar hal tersebut tidak terus berlangsung. NU secara organisatoris dengan seluruh perangkatnya harus berusaha mempertahankan masjid yang ada agar tak lagi lepas ke tangan pihak lain.

Demikian dikatakan Ketua PBNU Masdar F. Mas’udi dalam pertemuan di Gd. PBNU bersama dengan sejumlah badan otonom NU dalam upaya mengembalikan peran NU diberbagai masjid yang belakangan ini mulai surut. “Kalau perlu masjid-masjid milik warga NU diberi papan nama untuk memperjelas identitasnya,” tandasnya.

<>

Direktur P3M tersebut mengelompokkan masjid dalam dua kategori. Pertama, masjid komunitas yang dimiliki oleh kelompok-kelompok keagamaan seperti NU, Persis, Muhammadiyah dan lainnya. Kedua adalah masjid yang dibangun oleh pemerintah atau masyarakat.

“Pemasangan nama di masjid yang memang benar-benar milik warga NU bisa meningkatkan rasa memiliki dan menjaga sekaligus pemenuhan kebutuhan akan rumah kultural keagamaan,” tuturnya.

Selanjutnya ia juga memperkirakan bahwa masjid-masjid yang saat ini masih berstatus sebagai masjid publik di masa yang akan datang juga akan dipaksa untuk memperjelas identitasnya. Hal yang sama telah berlaku di gereja yang semuanya memiliki kaitan dengan kelompok tertentu.

Dalam hal ini pemerintah juga berkepentingan terhadap identitas masjid berkaitan dengan pembinaan yang akan dilakukan karena masjid merupakan tempat tumbuhnya berbagai gagasan, mulai dari gagasan yang baik sampai gagasan yang buruk.

Masdar berpendapat bahwa upaya untuk menghilangkan labelisasi masjid sebagai bagian dari NU muncul pada tahun 1970-an. Akibat tekanan politik Orba, mereka yang mengidentifikasikan diri sebagai orang NU ditindas. Sampai saat ini trauma tersebut masih dirasakan oleh sebagian orang dan ditakutkan suatu saat akan muncul kembali.

Upaya untuk mempertahankan masjid tersebut harus dilakukan secara integral dan komprehensif  dengan melibatkan seluruh komponen NU. “Saat masjid tersebut sudah diperjelas status NU-nya, Lembaga Wakaf harus membantu melakukan sertifikasi tanah. sementara badan-badan otonom NU harus memiliki basis di situ,” tegasnya.

Hal ini dilakukan berdasarkan pengalaman yang ada dimana ada kelompok lain yang berusaha merebut masjid tersebut dengan mengganti para takmirnya, ajarannya bahkan sampai sertifikasi tanahnya sehingga identitas NU hilang dari masjid tersebut. “Mereka menggunakan dalil bahwa masjid adalah rumah Allah yang bisa dimasuki oleh siapa saja, padahal tujuannya untuk menyebarkan ajarannya sendiri,” tegasnya.

Selanjutnya dimasa mendatang, pesantren-pesantren juga harus diperjelas identitasnya sebagai pesantren NU. Ini berkaitan dengan tumbuhnya pesantren-pesantren baru yang tidak menerapkan ajaran aswaja.

Terdapat beberapa indikator bahwa masjid tersebut sebagai masjid NU. Biasanya adanya bedug atau logo NU di dinding atau dalam lembaran waktu sholat. Sesudah kumandang adzan dan sebelum sholat ada puji-pujian kepada allah SWT, sholawat untuk kanjeng Rasulullah SAW atau nasehat kebaikan untuk sesama.

Biasanya sesudah sholat, dibacakan wirid atau doa bersama dipimpin oleh imam, dihangatkan dengan salam-salaman dan bacaan salawat. Secara berkala mereka menyelenggarakan doa bersama dengan ratiban, manaqiban, istighotsah atau salawatan dalam barzanji atau diba’iy serta tahlilan dan doa.

Paling tidak masjid tersebut tidak membid’ahkan bacaan usholli ketika takbiratul ihram, basmalah sebelum baca fatihah dan surat, qunut dalam salat subuh, adzan 2 kali sebelum khutbah jum’at tarawih 20 rakaat, tahlilan, mauludan, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an dan lainnya.(mkf)