Warta

Masdar: Penting Membangun Perspektif Pemahaman Keagamaan Baru

NU Online  ·  Rabu, 10 Maret 2010 | 06:16 WIB

Jakarta, NU Online
Untuk memahami dan penghadapi persoalan dunia yang terus berkembang, dibutuhkan perspektif pemahaman keagamaan yang baru dalam menginterpretasikan ayat dan hadist yang sudah ada.

“Penting membangun perspektif pemahaman keagamaan yang baru. Tuhan saja membuat pembaharuan, kalau tidak mengapa diangkar rasul pada zaman yang berbeda, tidak cukup satu saja,” kata KH Masdar F Mas’udi dalam halaqah yang membahas masalah lingkungan dan perubahan iklim yang diselenggarakan oleh CBDRMNU dan WWF di gedung PBNU, Rabu (10/3).<>

Ditegaskannya, ada permasalahan baku yang tak boleh dirubah seperti tauhid yang terkait dengan iman serta tidak boleh mangharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Selebihnya merupakan wilayah yang bisa diekplorasi melalui pemikiran dan konteks zaman.

Para kiai saat ini, tak cukup hanya memiliki ilmu nahwu dan sharaf. Perubahan perspektif keagamaan perlu pemahaman tentang filsafat, ilmu ekonomi, lingkungan dan lainnya. Ia mencontohkan, dalam perspektif fikih, air hanyalah alat untuk wudhu dan mandi junub, tetapi dalam arti yang lebih luas, air merupakan sumber kehidupan yang harus dijaga dan dipelihara keberadaannya.

“Air bukan hanya untuk wudhu dan mandi junub, itu tidak salah, tapi tidak cukup dan itu mengerdilkan kedahsyatan Al AQur’an,” katanya.

Ia seringkali merasa iri jika melakukan perjalanan ke negara-negara maju seperti di Jepang dan Eropa. Sungai yang mengalir di tengah kota airnya sangat bersih. Kondisinya berbeda jauh dengan di Indonesia yang nyata-nyata penduduknya muslim. Hal ini terjadi karena mereka sudah menggunakan perspektif Al Qur’an dalam memelihara lingkungan sementara yang beragama Islam sendiri malah belum melangkah jauh.

Pesan-pesan terhadap pentingnya menjaga lingkungan telah tercantum dalam Al Qur’an, tinggal bagaimana memformulasikannya dalam sebuah fikih lingkungan yang nantinya bisa menjadi panduan dalam mengelolanya. NU, sebagai organisasi ulama menurutnya memiliki tanggung jawab yang besar untuk melakukan perubahan perspektif ini.

Ditambahkannya, para pendiri NU, seperti KH Hasyim Asy’ari juga telah melakukan sebuah terobosan dalam penafsiran dalil-dalil Qur’an, seperti mendorong para perempuan untuk menempuh pendidikan, meskipun hal tersebut juga mendapat tantangan dari ulama konservatif yang menilainya sebagai tindakan bid’ah. Sekarang, pendidkan bagi perempuan merupakan hal yang mutlak dan penting untuk dilakukan.

“Apa yang kita anggap sesat waktu itu, mungkin Mbah Hasyim dianggap liberal juga waktu itu, kini tidak mugkin dirubah lagi. Konsep al muhafadhoh alaa kodimissholih lil jadidil aslah, pertama-tama diterapkan pada konsep berfikir, baru pada tindakan. Jangan bertindak dulu sebelum berfikir, dan inilah tanggung jawab ormas dengan atribut keulamaan,” terangnya.

Pembenahan Keorganisasian

Persoalan penting yang harus ditangani dalam menjalankan agenda-agenda besar saat ini adalah pembenahan keorganisasian karena jika mengandalkan individu, maka kapasitasnya dalam aspek umur, kesehatan dan waktu terbatas.
“Kita kehilangan manusia besar Gus Dur, tapi kita membuat penggantinya Gus Dur, yaitu organisasi NU yang kokoh, dan insyaallah akan bisa mengimplementasikan gagasan Gus Dur atau menggarap persoalan lain yang sudah sesuai dengan tantangan zaman,” tandasnya.

Lemahnya budaya berorganisasi yang ada saat ini karena perspektif keagamaan yang dimiliki masih bersifat individual seperti ibadah, munajat, tahlilan dan lainnya, belum ada agenda bersama yang dapat diperjuangkan.

“Organissi baru penting, kalau kita menyadari mutlaknya agenda non personal. Kesadaran tentang agenda bersama ini masih lemah, karena lagi-lagi perspektif pemahaman agama kita itu perspektif keberagaman personal, yang ubudiyah yang tidak butuh organisasi. Memang kalau berjamaah akan bertambah 27 kali pahalanya, tapi tanpa itu sah,” tandasnya.

Permasalahan bersama seperti masalah agenda lingkungan dan ekonomi tidak mungkin dipecahkan sebagai permasalahan individual. “Persoalannya, kesadaran dan pemahaman kita masih sangat lemah, fikih sosial baru dilaksanakan. Kami terlibat dalam berbagai halaqah fikih sosial juga mendapat banyak tantangan,” paparnya.

Kemampuan organisasi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi juga tergantung kapasitasnya, jika organisasi setingkat RT, permasalahan yang diselesaikan juga setingkat RT. Organisasi setingkat kabupaten juga menyelesaikan masalah setingkat itu. Islam sebagai sebuah agama yang memiliki agenda global melalui konsep rahmatan lil alamiin juga harus mampu membangun keorganisasian seringkat global. (mkf)