Warta SERBA-SERBI TANAH SUCI

Menikmati Purnama Bersama Anak-anak Maurutania (2/Habis)

Jum, 5 November 2010 | 13:37 WIB

Madinah, NU Online
"Kenapa kalian hanya bermain sepanjang malam? Bukankah sekarang sudah tengah malam?" tanyaku. Dan jam di handphone ku menunjukkan pukul 00.30 waktu setempat. Namun mereka malah tertawa berderai. Mereka mengatakan akan bermain sampai subuh menjelang.

"Besok hari Jum'at dan kami libur. Sekarang langit sedang disinari purnama, jadi apa salahnya kami bermain? Kami sudah sepekan bersekolah,"  kata Hassan, salah seorang anak yang paling kocak di antara mereka. r />
Namun tiba-tiba seorang ibu, tampaknya ini ibu yang tadi, kembali datang dan mengatakan kepada anak-anak itu lagi. "Jangan berbicara apa pun selain Islam dan jangan menambahkan sesedikit apapun kepada Islam. Mungkin sebaiknya kalian tidur sekarang," kata wanita yang kira-kira memiliki tinggi badan 175 cm ini.

"Apakah kamu sedang haji? Apakah kamu seorang guru agama?" tanyanya. kali ini dia bertanya langsung kepadaku.

"Ya Bu. Saya sedang dalam rombongan haji. Kami sedang berbicara tentang agama Islam," jawabku dengan suara tercekat. Ibu itu segera berlalu.

Lalu kembali kami terlibat dalam berbagai pembicaraan. Mereka bercerita tentang sekolah mereka, kelas masing-masing -belasan anak ini paling kecil kelas 5 SD da paling besar kelas 1 SMP, guru-guru mereka dan juga tentang sepeda mereka. Cerita tentang sekolah, sama persis dengan cerita anak-anak puteri tentang sekolah mereka. (baca: Remaja puteri Arab Suka bercerita).
 
"Apakah anak-anak di Indonesia juga bisa berbahasa Arab?" tanya Abdurrahman, salah seorang anak yang daritadi hanya diam saja.

Lalu saya katakan kepada mereka bahwa anak-anak di Indonesia sudah belajar berbahasa Arab sejak kelas tiga SD. Namun mereka tidak bisa berbicara seperti kalian. Salah satu alasan kenapa semua orang belajar bahasa Arab adalah karena Bahasa merupakan bahasa Rasulullah Muhammad SAW yang dimakamkan di Madinah al-Munawwaroh. "Kira-kira sekitar 700 meter dari sini kan?"

"Ya saya tahu mereka belajar bahasa Arab Fushah. Mereka tidak bicara bahasa Arab, mereka hanya membaca dan memahami bahasa Arab," tutur Muhammad, anak berpostur kecil namun mengaku sudah kelas 1 SMP.

Tak berapa lama, ada dua orang perempuan mendekat dan berkata-kata dalam bahasa yang tak kumengerti. Kedua perempuan ini mengenakan kebaya Hitam dengan kombinasi warna-warni dalam tema bulat dan kotak yang mencolok. Tentu saja segera kutanyakan kepada mereka, apa maksud kedua perempuan itu.

"Keduanya hanya berpikir tentang harta. Mereka mengira kamu membagi-bagikan makanan saja. Sudahlah jangan didengarkan. Tuh dia sudah diusir," kata Muhammad sembari menunjuk pada seorang temannya yang sedang berbicara kepada kedua perempuan itu.

Kami pun kembali berdialog dan mereka bertanya tentang banyak hal mengenai dunia luar. Sebuah dunia yang mungkin hanya mereka dengar dari cerita guru-guru mereka di kelas. Namun satu hal yang cukup menarik, mereka bertanya tentang tim sepakbola Eropa kegemaran orang-orang Indonesia.

"Kami menjagikan Barcelona. Apakah orang-orang Indonesia juga menyukai barcelona? Sebuah Tim Favorit Juara asal negara Spanyol. Selain itu kami juga menyukai Liverpool, Chelsea dan Intermilan", tutur salah seorang anak yang kemudian disanggah oleh temannya. Mereka pun berebut menyebutkan tim dan bintang sepakbola di Eropa, kesayangannya masing-masing.

Saya hanya mengatakan kepada mereka, "Yah orang-orang Indonesia juga menyukainya."

Mereka kembali bercerita tentang keinginan mereka untuk tahu tanah leluhurnya. "Suatu saat kami akan kembali ke sana," kata Ahmad, seorang anak berkepala plontos.

Saat kulirik jam di handphone sudah menunjukkan pukul setengah dua malam, aku pamit kepada mereka. Aku undur diri. Aku meminta berfoto. Beberapa di antara mereka menyetujui, namun beberapa lainnya tampak ketakutan. Maka aku pun mengiringkan niatku untuk berfoto bersama mereka. Mereka yang tadinya ingin berfoto tampak menyesalkan keberatan teman-temannya. Namun beberapa di antara mereka bergumam, "Jangan mudah berfoto dengan orang asing."

Aku pamit dan kutinggalkan mereka kembali dalam obrolan yang tak kumengerti. Mungkin mereka anak-anak sekolah yang bisa membedakan penggunaan bahasa kepada orang lain dan kepada sesama mereka sendiri. Jika berbicara kepadaku mereka tahu harus menyusun kalimat dengan caraa yang di ajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia. Namun saat saling berbicara sesamanya, mereka lebih sering mengeluarkan kata-kata yang tak kumengerti. (min/Selesai/Laporan langsung Syaifullah Amin dari Arab Saudi)