Warta SERBA-SERBI TANAH SUCI

Menikmati Purnama Bersama Anak-anak Pengungsi Maurutania

Jum, 5 November 2010 | 04:18 WIB

Madinah, NU Online
Malam itu, purnama bersinar penuh. Angin berhembus dalam sepoi-sepoi basah. Kukancingkan jaket tebalku rapat-rapat ke tubuh. Berlenggang kangkung kususuri jalanan aspal dengan bersedekap sambil mencoba menyesuaikan suhu badan dengan udara dingin di luaran.    

Sampai pada sebuah tanah lapang, kudapati banyak anak-anak tengah bermain. Mereka berkelompok, berdasarkan postur tubuh, sebenarnya tentu saja mungkin berdasarkan usia. sekelompok bermain bola, sementara sekelompok lainnya bermain "Sibsib" -sebuah permainan yang mengandalkan kemampuan badan menjaga keseimbangan dengan meloncat menggunakan satu kaki di atas bidang-bidang garis. Ada juga sekelompok anak yang hanya duduk-duduk, lalu tampak saling berbicara dan kemudian tertawa berderai ramai-ramai, mungkin mereka sedang bermain tebak-tebakan.
t;
Aku mencoba berjalan mendekat ke arah mereka dan ternyata anak-anak yang tadinya berkerumun saling berbicara dan tertawa, kemudian berebut menyapaku. "Hey . . . Indonesia? Kenapa pakai jaket tebal? Bukankan cuaca sedang panas? Bukankah mestinya memakai baju tipis?" anak-anak itu kemudian berkerumun, seakan menikmati keanehan yang asing.

"Ya saya dari Indonesia. Angin kencang membuatku kedinginan. Bolehkah kita ngobrol-ngobrol?" tanyaku kepada anak-anak yang mulai beranjak remaja ini. Mereka pun kemudian mempersilahkan saya duduk di trotoar dan kemudian berebut mengelilingiku sembari melontarkan beraneka pertanyaan.

Namun sesaat kemudian, tampak seorang ibu dalam jubah hitamnya, datang mendekat dan berkata kepada anak-anak ini, "Jangan berbicara apapun selain tentang Islam. Dan jangan menambahkan sesedikit apapun ke dalam Islam. Jangan sampai orang asing menyesatkanmu," kata ibu-ibu yang tampak berbadan kurus ini. Sorot matanya masih terasa tajam menyelidik di bawah temaram sinar rembulan purnama. Ia berhenti sejenak tepat 2 meter di depanku yang sedang duduk dikelilingin anak-anak yang belum kukenal ini.

Anak-anak pun terdiam, Sementara aku hanya tercekat menahan nafas.  "Apakah kamu sedang berhaji?" tanya salah seorang yang tampaknya paling besar di antara mereka, kepadaku.

"Ya saya sedang dalam rombongan haji," jawabku pendek. Aku sebenarnya cukup risau, jangan-jangan perempuan ini akan memanggil lebih banyak orang lagi, lalu ramai-ramai mengusirku.

"Tidak Bu, orang ini sedang berhaji. Dia pasti tidak akan menyesatkan kami. Dan kami hanya akan berbicara tentang Islam kepadanya," kata temannya yang lain.

"Sekali lagi. Jangan berbicara apapun selain tentang Islam. Dan jangan menambahkan sesedikit apapun ke dalam Islam," kata sang ibu sambil berlalu.

Sepeninggalnya, anak-anak itu kembali berebut bertanya. "Di mana ibukota Indonesia. Ada apa saja di sana. Apakah semua penduduknya beragama Islam. Berapa orang yang berhaji tahun ini?"

Setelah meminta mereka menyebutkan namanya satu persatu, akupun lantas menjawab satu persatu pertanyaan mereka, mencari-cari bahasa yang kira-kira bisa dimengerti oleh mereka. Menjelaskan hal-hal ringan tentang Indonesia dan Islam dalam istilah-istilah mereka. Pekerjaan ini berarti sekedar mengingat-ingat kembali pelajaran-pelajaran, saat aku seusia mereka.

Pembicaraan di antara kami pun berlangsung semarak. Sesekali mereka tertawa berderai dan sesekali pula mereka terlibat saling ejek. Kepada saya, mereka bercerita bahwa mereka bukanlah berkebangsaan Arab Saudi. Mereka adalah anak-anak Maurotania yang lahir dan tumbuh di Saudi.

"Kadang kami juga ingin tahu bagaimana sebenarnya tanah leluhur kami. Tetapi kami tidak pernah mengerti dan tidak pernah belajar tentang tanah Air kami selain daripada cerita pengantar tidur saja," tutur salah seorang anak yang mengaku bernama Musthofa.

Republik Islam Mauritania adalah sebuah negara yang terletak di bagian barat laut Afrika. Pesisirnya menghadap ke Samudra Atlantik, di antara Sahara Barat di sebelah utara dan Senegal di selatan. Negara ini jangan dikelirukan dengan negara kuno Mauretania. Mauritania dan Madagaskar merupakan kedua negara yang tidak menggunakan sistem baku angka desimal. Ibu kota sekaligus kota terbesarnya ialah Nouakchott yang terletak di pesisir Atlantik.

Meski sering juga dilanda perang, namun Negara ini tidaklah terlalu terkenal dibandingkan Republik Kongo misalnya. Konon, orang-orang Eropa menyebuut penduduk Afrika sebagai orang Moor juga berasal dari sebutan orang kulit putih atas penduduk negara ini. Dahulu beberapa guru saya di Jakarta suka bercerita mengenai keprihatinan mereka atas bangsa Islam Mauritania.

"Mereka diadudomba sehingga saling berperang. Sebagian penduduknya mengungsi ke negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi. Bahkan sekolah kita (sekolah milik pemerintah Arab Saudi) di sana juga terpaksa ditutup  dan guru-gurunya akan segera di pulangkan. Kemungkinan beberapa di antara guru-guru dari sana akan mengejar di sini (Jakarta)," begitu seingatku guruku menjelaskan waktu itu.

"Lalu kenapa kalian hanya bermain sepanjang malam? Bukankah sekarang sudah tengah malam?" tanyaku. Dan jam di handphone ku menunjukkan pukul 00.30 waktu setempat. Namun mereka malah tertawa berderai. Mereka mengatakan akan bermain sampai subuh menjelang.

"Besok hari Jum'at dan kami libur. Sekarang langit sedang disinari purnama, jadi apa salahnya kami bermain? Kami sudah sepekan bersekolah,"  kata Hassan, salah seorang anak yang paling kocak di antara mereka. (bersambung)