Warta

Menlu RI: Perlu Reformasi di Tubuh OKI dan DK PBB

Rab, 29 Juni 2005 | 06:21 WIB

Mesir, NU Online
Auditorium Al-Azhar Conference Center di Nasr City, Cairo, menjadi saksi betapa kuatnya hubungan emosional mahasiswa Indonesia di Kairo (Masiko) dengan salah seorang mantan Dubesnya, Dr. Nur Hassan Wirajuda, yang kini menjabat Menteri Luar Negeri Kabinet Indonesia Bersatu. Beberapa saat setelah shalat maghrib, Sabtu (25/6) petang, mahasiswa berbondong-bondong memasuki auditorium yang cukup megah itu. Meski banyak yang harus berjalan kaki dari tempat jamuan makan di Wisma Nusantara, sekitar 1 km dari tempat acara, mahasiswa terlihat antusias untuk bertatap muka dengan salah seorang diplomat ulung asli Banten itu. Tepat pukul 21.00 waktu setempat, Menlu RI didampingi Dubes RI untuk Mesir Prof. Dr. H. Bachtiar Aly, MA., memasuki podium.

Acara bertajuk "Dialog dan Silaturahmi Bersama Menlu RI Dr. Nur Hassan Wirajuda" itu pun segera dimulai. Pembawa acara yang sekaligus bertindak sebagai moderator mengajak hadirin membaca basmalah, lalu mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Alquran. Sebelum acara inti, Presiden Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mesir Suhartono TB., Lc. dan Dubes Bachtiar memberikan sambutan. Dalam sambutannya, Suhartono menyatakan bahwa meskipun Dr. Nur Hassan tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren, namun terlihat betapa perhatian Menlu yang sudah menjabat di dua periode pemerintahan ini begitu besar terhadap kaum santri. "Terbukti, mahasiswa Indonesia di Kairo yang hampir semuanya berasal dari kalangan pesantren, dapat begitu melekat di hati Menlu," katanya.

<>

Sementara Dubes Bachtiar menekankan, "Acara yang digelar khusus untuk menyambut kehadiran kembali Dr. Nur Hassan di tengah Masiko ini, bertujuan agar Masiko dapat bernostalgia kembali dengan doktor lulusan Amerika ini." Karena memang Menlu Dr. Nur Hassan Wirajuda pernah menjadi Duta Besar RI untuk Mesir, antara tahun 1997-1998. Meski hanya beberapa bulan menjadi Dubes di Mesir, namun karena perhatian yang besar Dr. Nur Hassan terhadap warga negara Indonesia di Mesir, maka ikatan yang terjalin pun begitu melekat di hati.

Menguatkan apa yang dinyatakan Dubes Bachtiar, Menlu Hassan pun membuka pembicaraannya dengan cerita semasa menjabat Dubes RI di Kairo. Ketika itu, negara Indonesia tengah hangat-hangatnya dihantam badai krisis moneter, sehingga banyak di antara mahasiswa, terutama yang mengandalkan kiriman dari orang tua, mengalamai kesulitan membiayai hidup dan belajar di Al-Azhar. Beberapa mahasiswa yang orang tuanya hanya berpenghasilan pas-pasan, tentu kalang kabut melihat harga dolar AS yang menjulang tinggi, sementara mata uang rupiah tentu tak laku untuk ditukar dengan pound Mesir (LE). "Pun, bagi mahasiswa yang orang tuanya cukup mampu meski di tengah krisis, merasa kesulitan juga karena banyak bank-bank yang sirkulasi keuangannya terhambat atau bahkan macet," kenang Menlu Nur Hassan.

Hal itulah yang mendorong Dubes Nur Hassan ketika itu, untuk memutar otak guna memberikan solusi bagi sebagian besar warga negara RI yang kebanyakan sedang menuntut ilmu. "Alternatif pertama dan yang menjadi target adalah pemulangan separuh jumlah mahasiswa Indonesia yang ketika itu mencapai 2500 orang," pikirnya ketika itu. Bahkan Dubes Nur Hassan sudah mengontak koleganya di Departemen Agama, meminta agar pesawat yang membawa jamaah haji ke Saudi, sebelum pulang dibelokkan dulu ke Kairo menjemput mahasiswa, daripada pulang ke tanah air kosong tak berpenumpang.

Cara lain juga ditempuh, yakni dengan pembentukan Tim Penanggulangan Krisis Mahasiswa (TPKM). Tema yang diangkat oleh tim ini adalah "kepedulian dan keberpihakan". Setelah sekitar dua bulan bekerja membanting tulang, tim ini pun membuahkan hasil. Sebagian besar mahasiswa Indonesia yang beberapa di antaranya sempat tak kuat membeli makanan, akhirnya mendapatkan cukup beasiswa. Dus, pada tanggal 3 Februari 1998, setelah yakin tak ada seorang pun mahasiswa yang kelaparan atau kebingungan karena tak ada biaya hidup, diselenggarakanlah tasyakuran.

"Bertempat di Auditorium Fakultas Tarbiyah Universitas Al-Azhar yang sederhana, sekitar 1500 mahasiswa Indonesia berkumpul untuk menunjukkan kebahagiaan mereka, karena akhirnya tak ada satu pun teman mereka yang harus dipulangkan karena tak ada biaya hidup," sambungnya.

Dalam hal ini, menurut Dubes Nur Hassan, kunci keberhasilan menghadapi krisis moneter ketika itu adalah kebersamaan dan kerjasama. Hal itu tidak hanya terkait antara Perwakilan Pemereintah RI dalam hal ini KBRI dengan mahasiswa, tapi juga dengan masyarakat Mesir. Seperti diketahui bersama, kuatnya hubungan RI-Mesir sudah berlangsung lama, dimana Mesir termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan RI. "Kentalnya hubungan baik antara Indonesia dengan Mesir, baik antar masyarakat maupun pemerintahannya juga merupakan terjemahan dari ukhuwah Islamiyah," jelasnya.

Menlu Nur Hassan mengakui, pengalaman yang paling mengesankan selama berkarier di Departemen Luar Negeri adalah ketika menjadi Dubes di Kairo itu. Dr. Nur Hassan lalu menceritakan juga, betapa besarnya dana yang dapat terkumpul ketika itu, yang mencapai angka 40.000 dolar AS. Yang lebih mengesankan dana sebesar itu tidak hanya didapat dari para dermawan Mesir yang kaya. Bahkan ada suatu ketika, seorang tua Mesir berpakaian lusuh datang ke KBRI di kawasan Garden City, menyumbangkan uang sebesar LE 143. Setelah ditelusuri ternyata orang itu datang jauh-jauh dari luar kota. Ada juga seorang Mesir yang tak mau menyebutkan jatidirinya, mengatakan akan memberikan beasiswa kepada 50 mahasiswa Indonesia deng