Warta

NU Australia-New Zealand Minta RUU APP Ditunda dan Direvisi Total

Rab, 5 April 2006 | 16:44 WIB

Melbourne, NU Online
Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI-NU) Australia dan New Zealand, meminta pembahasan Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) ditunda dan direvisi total. RUU yang sedang dibahas di DPR ini dinilai sisi mudharat (kerusakan) sampingannya jauh lebih besar dari manfaat atau hasil yang ingin dicapai.

Hal itu terungkap dalam diskusi “Mengkritisi RUU APP” yang digelar oleh PCI-NU Australia dan New Zealand, Sabtu (1/4) lalu. Diskusi menghadirkan Budayawan Emha Ainun Najib, Anna Lumban Gaol (Feminis, Monash University), Moh Yasir Alimi (Antropolog, ANU), Atip Latiful Hayat (Pakar Hukum, Monash University, Persis), dan Tim Lindsey (Pengajar Fakultas Hukum, Melbourne University).

<>

Pada acara hasil kerjasama PCI-NU Australia-New Zealand Indonesia Programs, Melbourne University dan Konsulat RI di Melbourne itu, forum bersepakat bahwa walaupun yang disasar sebenarnya adalah pornografi media dan pertunjukan seks, RUU ini bisa menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap budaya, seni, hidup, kerukunan, identitas kebangsaan dan tatanan sosial yang demokratis.

Menurut Cak Nun, panggilan Emha Ainun Najib, aurat atau bagaimana harus berpakaian, tidaklah perlu diatur oleh negara. Hal itu menurutnya, sama seperti solat dan ibadah lainnya yang tak memerlukan intervensi negara. “Biarlah soal aurat itu menjadi wilayah pendidikan, keluarga dan masyarakat,” ujarnya.

Cak Nun menyarankan agar pemerintah mampu mengatur media-media yang menyajikan tayangan pornografis. Caranya, menurutnya, bisa seperti menghidupkan badan sensor seperti yang ada di masa lalu yang spesifik untuk masalah pornografi atau membuat aturan yang lebih spesifik seperti UU penyiaran, UU anti-pesta seks, UU tentang distribusi pornografi dan sebagainya.

Sementara itu, Anna Lumban Gaol menyatakan bahwa pornografi justru menjadi industri dengan angka pertumbuhan dan laba yang terus meningkat 40 persen tiap tahunnya. Di dalamnya perempuan dieksploitasi, dijual murah dan tidak diberi suara. Oleh karenanya, ujar Anna, pornografi sebagai industri perlu campur tangan negara melalui undang-undang.

Namun demikian, lanjut Anna, di situlah masalahnya dengan RUU APP. “Alih-alih melindungi perempuan sebagai korban pornografi, RUU APP justru menyalahkan perempuan sebagai sumber masalah moralitas. Akibatnya RUU APP gagal melindungi perempuan sebagai kelompok yang rentan,” terangnya. (may/rif)