Warta SERBA-SERBI TANAH SUCI

Orang Arab Kadang Suka ke-GR-an

Sel, 23 November 2010 | 23:14 WIB

Jeddah, NU Online
Orang Arab (maksudnya pemerintah Arab Saudi) memang tidak menyukai hal-hal berbai mistik, tahayul dan kegiatan-kegiatan yang mereka sebut sebagai Bid'ah. Semua orang mengerti bahwa ada beberapa kegiatan dan tempat benda yang disebut dengan cara yang lucu (sebagai anekdot saja).

Misalnya saja, ketika di Jeddah jamaah haji melihat monumen Sepeda, mereka kemudian mengatakannya sebagai sepeda Nabi Adam. alasannya mudah saja, karena namanya Monumen, tentu ukurannya jumbo. Ketika di jalanan-jalanan jamaah melihat guci-guci indah penghias taman kota, mereka dengan enteng mengatakan, Guci Nabi Yusuf dan hal-hal unik lainnya. Tentu ini bukan sesuatu yang serius.
gt;
Namun tidak demikian halnya bagi orang-orang Arab. Anekdot-anekdot seperti ini dianggap sebagai penyesatan. Mereka menganggap cerita-cerita lucu yang berkembang di antara para jaamaah haji Indonesia sebagai sesuatu yang serius. Mereka benar-benar seperti seseorang yang menderita paranoid.

Salah satunya adalah cerita mengenai "Masjid Terapung" yang katanya didengar oleh orang-orang Arab dari jamaah haji Indonesia. Menurut orang-orang Arab, jamaah haji Indonesia menganggap bahwa Sebuah Masjid di tepi pantai kawasan wisata Laut Merah Jeddah, sebagai Masjid Ibu Hawa atau Fatimah.

Masjid ini disebut sebagai Masjid Apung, dikatakan juga sebagai masjid terapung dan berbagai padanannya, karena dibangun di atas pantai. Orang-orang Indonesia tentu tidak akan merasa aneh dengan model seperti ini. Separoh badan Masjid ditopang oleh tiang-tiang setinggi dua sampai empat meter di atas permukaan ombak pantai. Dilihat dari kokohnya, tampaknya tiang-tiang ini tertancap sangat dalam di bawah air.

Memasuki Masjid ini, kita cukup menaiki beberapa anak tangga yang dibangun sebagai pintu gerbang Masjid. Karena sebagian badan Masjid dibangun atas tanah, maka masjid ini tak memerlukan jembatan. Tentu saja insinyurnya tidak akan memilih mengambil resiko untuk mengapungkan tiang pancang di atas air. Pengapungan dapat menyebabkan retak-retak pada semua bangunan Masjid yang mengunakan materi bahan cor beton.

Anehnya, di depan pintu gerbang masjid, kita tidak akand apat menemukan nama Masjid ini. Bahkan kalaupun kita telusuri ke seluruh keliling Masjid dan ke tembok-tembok dalam Masjid, tetap tidak akan kita temui penanda deretan huruf-huruf yang dapat dijadikan penanda untuk menyebut Masjid ini. Kita hanya dapat menemukan spanduk bertuliskan anjuran untuk beristighfar (memohon ampun) kepada Allah atas dosa-dosa dan memperbanyak amal kebajikan untuk mendapatkan kehidupan yang berbahagia. Benar-benar tidak ada satu kata pun yang dapat dijadikan sebagai nama.

Mungkin karena ini pula, orang-orang Indonesia -termasuk para jamaah haji, juga tidak memiliki rujukan atau referensi resmi untuk menyebut Masjid ini dengan sebuah nama selayak nama Masjid, semisal Masjid at-Taubah, Baiturrohman ataupun lainnya. Dan karenanya pula mereka lebih mudah menyebutnya sebagai Masjid Apung, untuk mewakili konstruksi bangunannya yang separuhnya beradda di atas perukaan air.

Namun rupanya, orang-orang Arab kelewat ke-GR-an (terlalu PD) menganggap bahwa orang Indonesia mengangungkan Masjid tersebut. Dikiranya para jamaah haji Indonesia datang ke kawasan tersebut, secara khusus ingin beribadah di Masjid tersebut. Sampai-sampai mereka khawatir terjadi penyesatan kemusyrikan di atas Masjid tersebut.

Tidak tanggung-tanggung, mereka bahkan perlu membuat klarifikasi melalui berbagai media mengenai apa yang dianggapnya sebagai kesesatan dan membuat klarifikasinya di media massa. Mereka merasa perlu meluruskan atas anggapan salah tersebut. Sebuah anggapan yang diada-adakan, yang bahkan mungkin tidak pernah ada. Padahal kalaupun ada, maka ia tak lebih sebagai sebuah anekdot belaka.

"Mas, mas tolong ke sini. Tolong bantu saya," kata seorang ibu kepada saya, ketika mungkin dilihatnya tampak seseorang berjaket petugas haji Indonesia, sedang melintas di kejauhan.

"Tolong, saya tidak mengerti dengan perkataan mereka," katanya setelah saya menghampirinya. Ibu ini mengaku sebagai jamaah haji gelombang pertama yang akan segera pulang ke Indonesia melalui Bandara King Abdul Aziz Jeddah. Ibu ini juga mengaku sebagai saudara sepupu salah seorang pejabat Misi Haji Indonesia asal Sulawesi Tenggara.

Ibu ini ternyata sedang dimintai wawancara oleh tiga orang crew dari sebuah stasiun televisi Arab Saudi, Channel khusus Haji dan Umroh, NBC. Kepada tiga orang berseragam crew NBC yang dari tadi berusaha mengajaknya berbicara, Ibu ini memberi isyarat agar mengalihkan pertanyaan mereka kepada saya saja.

Saya tidak perlu menjelaskan, kemungkinan apa yang membuat ketiga crew ini memilih sang ibu sebagai objek reportasenya. selain berkulit cerah dan berwajah "fotogenic/cameragenic," ibu ini juga memiliki postur lebih tinggi dan lebih besar dari rata-rata perempuan Indonesia.

Salah seorang crew yang tampaknya bertindak sebagai pengarah kemudian menanyai saya, apakah saya bisa berkomunikasi berbahasa Arab? Aku pun mengiyakan.

"Apakah Anda tahu, kenapa para jamaah haji Indonesia dan Asia Tenggara suka mengunjungi Masjid ini. Apakah mereka benar-benar menganggap bahwa Masjid ini adalah Masjid Ibu Hawa atau Fatimah?" tanyanya.

"Oh, maaf. Tujuan utama bagi jamaah haji Indonesia dan Asia Tenggara datang ke sini adalah untuk bertamasya di pinggir pantai. Mereka ingin melepas penat dengan bermain air laut dan menikmati matahari tenggelam setelah berusaha melaksanakan ibadah haji dengan sebaik-baiknya," jawabku.

"Apakah Anda tahu, bahwa mayoritas jamaah Indonesia menganggap bahwa Masjid ini adalah Masjid Ibu Hawa atau Fatimah?" tanyanya menandaskan.

"Tidak, tidak ada anggapan demikian dalam jamaah Indonesia. Kalaupun ada, itu addalah bagian yang sangat kecil. Dan mereka, masing-masing rombongan dipimpin oleh ahli agama yang dapat menjelaskan bahwa Masjid ini hanyalah sebuah masjid baru," jawabku.

"Apakah Anda bisa menjelaskan bahwa bila ada anggapan mengenai Masjid ini sebagai Masjid Ibu Hawa atau Fatimah, merupakan anggapan yang salah?" tanyanya memaksakan.

"Tentu saja, kalau pun memang ada anggapan demikian, tentu anggapan itu adalah anggapan yang salah. Mereka datang ke Masjid ini adalah untuk keperluas sholat dan bersuci saja. Selebihnya mereka lebih menikmati pemandangan di pantai," tandasku.

Pengarah ini kemudian bertanya, apakah saya bersedia mengulangi perbincangan ini dengan microphone di depan kamera? Tanpa ba-bi-bu saya pun mengiyakan. Kedua crew lain yang dari tadi mengikuti perbincangan kami pun segera menjalankan tugasnya.

Selanjutnya, percakapan lebih berlangsung seperti pelajaran menghafal saja. Pertanyaan dan jawaban diulang dengan cara yang sama. Iya-iya sajalah. Yah kapan lagi diwawancara stasiun televisi luar negeri? wew. (min/Laporan langsung Syaifullah Amin dari Arab Saudi)