Warta

Pemerintah Tak Konsisten Ungkap Stok Beras Nasional

NU Online  ·  Kamis, 17 April 2008 | 08:37 WIB

Yogyakarta, NU Online
Pemerintah dinilai tak konsisten dalam mengungkapkan jumlah persediaan atau stok beras nasional. Padahal, beras merupakan komoditas paling strategis dan sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat Indonesia.

Pendapat tersebut dikemukakan Guru Besar Fakultas Teknik Pertanian, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Prof Dr Mochammad Maksum, kepada NU Online melalui sambungan telepon di Yogyakarta, Kamis (17/4).<>

Maksum yang juga Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DI Yogyakarta itu menganggap hal yang dilakukan sejumlah pejabat pemerintah. “Mereka tiba-tiba bicara tentang ekspor beras, termasuk yang tadinya getol bicara bahwa Indonesia ini defisit beras dan harus impor,” tandasnya.

Menurut dia, baru tiga bulan lalu, Menteri Perekonomian memutuskan menurunkanbea masuk impor beras sebesar 18.2 persen dari 550 per kilogram menjadi 450 per kilogram dengan alasan untuk meringankan impor dan beban bulog dengan mendasarkan pada data bahwa saat itu Indonesia mengalami defisit.
 
“Kini, setelah melejitnya harga beras dunia sampai 700 dolar Amerika Serikat per ton, mereka bicara tentang ekspor beras dan enteng sekali bilang kita kini surplus beras domestik meski kemarin bilang defisit. Pagi defisit, sore surplus, mencla-mencle (tidak konsisten),” tandasnya.

Dikatakannya, memang benar bahwa ekspor dan impor hal yang biasa. Tetapi untuk komoditas sestrategis beras, harus dipertimbangkan seluruh akibatnya karena hal itu bisa memengaruhi ketahanan dan kedaulatan pengan nasional. Sistem ketahanan pangan nasional saat ini harusnya sudah dibuat dalam acuan yang baku sehingga tidak gugup dalam menghadapi perubahan global.

Dalam perpektif negara memiliki kedaulatan dan ketahanan nasional, segala implikasi kedaulatan dari importasi maupun eksportasi bisa diperkirakan sehingga kebijakan yang diambil menjadi mapan.

Tak heran, saat memutuskan mengimpor beras, pengambil kebijakan menggunakan logika yang sangat sederhana bahwa produksi dan efisiensi domestik sangat rendah sehingga lebih baik melakukan impor untuk menjaga stabilitas lagi. “Namun, mereka tidak pernah dijawab mengapa impor lebih murah, tak pernah pula dibahas implikasi impor terhadap produksi dalam negeri,” katanya.

“Saat ini, ketika harga dunia melangit dengan perbedaan harga sekitar 200 dolar AS per ton, banyak yang mengatakan Indonesia mengalami surplus dan siap ekspor dengan tanpa perlu melihat apa yang sedang terjadi dan tak pernah memikir bagaimana implikasinya terhadap pasar domestik,” tambahnya. (mkf)