Warta

Pesantren Al-Hikmah Brebes, Tradisional yang Bernuansa Modern

Ahad, 13 Juli 2008 | 23:30 WIB

Brebes, NU Online
Perjalanan menuju Pondok Pesantren Al-Hikmah 2 Desa Benda, Kec. Sirampog Kab. Brebes tempat berlangsungnya Konferensi Wilayah (Konferwil) ke-13 Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Tengah sungguh melelahkan. Pasalnya pondok ini jauh terpencil dari keramaian kota.

Meski jaraknya cukup jauh sekitar 75 Km dari Pusat Kota Brebes, namun nama pesantren sudah cukup dikenal secara luas, terutama bagi mereka yang ingin mendalami ilmu agama Islam. Jarak jadi terasa dekat.<>

Pesantren Al-Hikmah sudah ada sejak masa kolonial Belanda. Tepatnya berdiri pada tahun 1911. Sebagai pendirinya adalah (Alm.) KH Kholil bin Mahali. Sepeninggal KH Kholil kemudian diteruskan oleh KH Sukhaimi bin Abdul Ghoni. Dan saat sekarang Pesantren Al-Hikmah dilanjutkan oleh generasi ketiga yakni KH Masruri Abdul Mughni dan KH Labib Shodik.

Jumlah santri yang menimba ilmu agama di Pesantren Al-Hikmah semakin meningkat dari tahun ke tahun. Padahal, dulu ketika awal berdirinya cuma dihuni oleh puluhan santri. Sekarang jumlahnya sudah mencapai ribuan santri. Tak hanya santri lokal karena sebagian mereka berasal berbagai daerah di tanah air.

”Para santri Al-Hikmah banyak yang berasal dari luar Jawa, terutama Sumatera. Saat ini jumlahnya sekitar 6.000 orang. Mereka kami sediakan asrama dan ada juga kos di sekitar pondok,” kata KH Masruri Abdul Mughni yang kini menjabat Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah.

Menurut kiai yang kini telah berusia 65 tahun itu, ada kegiatan rutin bagi santri yaitu dengan mendalami kitab turats atau lebih dikenal dengan sebutan kitab kuning atau klasik. Bahkan intensitas pendalamannya makin diperbanyak dibandingkan di luar bulan-bulan Ramadan. Kegiatan itu wajib diikuti para santri. Jika ada santri yang tidak mengikutinya, konsekuensi terberat yaitu akan dipulangkan ke kampung halamannya.

Setiap santri ditarget bisa selesai (khatam) dengan bimbingan para pengasuh pesantren atau guru kelas masing-masing. Yaitu membaca dengan lafal makna tanpa ada penjelasan. Jika sudah khatam maka santri akan diberi ijazah. Atau metoda kedua yaitu dengan membaca pelan dengan diberi makna dan penjelasan dan sebagian meneruskan kitab kuning yang dibaca harian.

"Pada hari-hari tertentu ada juga kegiatan kajian khusus dalam bentuk seminar. Misalnya membahas masalah ekonomi kekinian yang berkaitan dengan riba," tambahnya.

Sementara itu beberapa kitab kuning yang khusus dipelajari selama bulan Ramadhan antara lain kitab Tafsir Jalalain yang dipelajari usai salat Subuh. Idhotun Nasikhin dipelajari selesai salat Asar dan Tadzhib dipelajari setelah salat sunah Tarawih. Kegiatan itu disentralkan di masjid dan aula pesantren dengan bimbingan pengasuh pesantren yaitu KH Masruri Abdul Mughni dan dibantu menantunya KH Mukhlas Hasyim MA.

Menurut KH Masruri, konsep yang diterapkan Pesantren Al-Hikmah yaitu tradisional dan modern. Dikatakan, keberadaan pesantren yang diasuhnya bukan bertujuan untuk mencetak kiai. Tetapi diharapkan para santri lulusan Al-Hikmah bisa mewarnai kehidupan dalam masyarakat. "Pesantren Al-Hikmah ingin membuat santri yang soleh dan muslih, baik kepada pribadi, masyarakat dan orang banyak," ujarnya.

Pesantren yang berada di daerah perbukitan dan berhawa sejuk itu juga mendatangkan guru Bahasa Arab dari Kairo, Mesir yaitu Syeikh Khusaeni bin Assayid Mandzur. Sedangkan guru Bahasa Inggris berasal dari Arizona, AS yaitu Mr Herry. Diharapkan santri benar-benar mampu menguasai dua bahasa internasional itu. Komunikasi dengan bahasa asing dilakukan secara aktif selama jam pelajaran.(was)