Warta

Pesantren Miftahul Huda menjadi nominasi wisata ziarah di Malang

Sen, 6 Februari 2006 | 15:11 WIB

Malang, NU online


Dikenal Teknik Hisabnya, Jadi Rujukan Penanggalan Islam, Pondok Pesantren Miftahul Huda sangat terkenal dalam segi teknik penghitungan (hisab) penentuan Hari Raya Idul Fitri atau Hari Raya Idul Adha. Selain itu, pengasuh ponpes ini juga punya hubungan keluarga dengan Sunan Gunung Jati. Dua keunggulan inilah yang menjadikan pesantren tua di Kelurahan Gading Kasri, Kecamatan Klojen, ini dinominasikan jadi wisata ziarah.
 ---
Pondok Pesantren (Ponpes) Miftahul Huda, Jl Gading Pesantren, Kota Malang. Usai Salat Dhuhur kemarin, puluhan santri masih berdzikir dipandu imam salat. Suasana khidmat dan tenang melingkupi pesantren yang berada di sebuah gang tersebut. Kalau dilihat sekilas, lokasi ponpes tersebut hampir mirip perkampungan. Sebab berupa deretan rumah-rumah dengan sebuah masjid di tengahnya.

<>

Di kalangan masyarakat Malang, pesantren ini lebih dikenal dengan Pesantren Gading. Mungkin, karena lokasinya di Jl Gading, sehingga nama ini muncul. Ponpes Gading disebut-sebut sebagai pesantren tertua kedua di Malang setelah Ponpes Al Islahiyah, Singosari, Kabupaten Malang. Hingga kini, sudah ada lima generasi penerus dari ponpes tersebut. Salah satunya KH Baidlowi Muslich. Kiai Baidlowi saat ini juga menjadi ketua MUI Kota Malang. Ada juga KH Abdurrahman yang menjadi pengasuh paling tua di antara pengasuh lain.

"Kalau tidak salah usianya sudah hampir dua abad. Kiai Baidlowi mulai mengasuh di ponpes ini sejak tahun 1960-an," kata salah seorang santri ponpes salaf ini.

Model pengajaran, interaksi antar-santri, dan ketekunan peribadatan di ponpes salaf ini tampaknya pas untuk dijadikan salah satu modal objek wisata ziarah. Ponpes salaf ini mengajarkan Alquran dan kitab-kitab kuning. Selain model pengajaran salaf, Ponpes Gading layak dijadikan sebagai objek wisata ziarah karena silsilah pengasuhnya langsung berhubungan dengan Sunan Gunung Jati. Salah satu dari sembilan wali itu dahulunya menyebarkan agama Islam di wilayah Cirebon dan Jawa Barat. Generasi pertama pengasuh ponpes bernama KH Muhammad Yahya. Dia masih keluarga dari sunan yang dimakamkan di Cirebon tersebut.

Sebagai bukti, hingga kini daftar silsilah dari Sunan Gunung Jati masih tersimpan rapi di ponpes yang sebagian besar santrinya adalah para mahasiswa itu. Daftar silsilah yang dipegang saat ini sekaligus sebagai free pass (tanda masuk) menuju makam Sunan Gunung Jati di Cirebon. Sebab, tanpa membawa daftar silsilah itu, jangan pernah berharap bisa masuk ke makam Sunan Gunungjati.

"Kalau hendak ziarah ke makam Sunan Gunungjati, kami harus menunjukkan daftar silsilah itu ke juru kunci. Baru kami diperbolehkan masuk," jelas Kiai Baidlowi.

Karena ada keturunan dari salah seorang wali songo itu, banyak santri yang selalu tahlil atau yasinan untuk mendoakan pengasuhnya yang telah tiada. Kebetulan makam pengasuh generasi kedua dan ketiga berada di dalam kompleks ponpes tersebut. Tahlil dan yasinan dilakukan para santri sebagai salah satu wujud bakti mereka sebagai seorang murid.

Andalan lain dari pesantren ini adalah teknik hisab (penghitungan) penentuan Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Di ponpes, teknik hisab banyak diadopsi oleh ponpes lain di Indonesia. Meski caranya hampir sama, namun entah mengapa, hitungan hasil ponpes Gading lebih tepat dari yang lain. Praktis, hasil hisab pesantren ini jadi rujukan utama penentuan hari raya. Selain itu, pembuatan penanggalan Islam juga sering merujuk hasil perhitungan dari ponpes Gading. Menurut banyak kiai, ponpes Gading punya kekhususan tersendiri.

"Itu karena kami benar-benar teliti dan memperhatikan teknik-teknik yang diajarkan secara turun temurun," pungkas Baidlowi.

di kutip dari tulisan Yosi Arbianto, Jawa Pos Radar Malang (alf)