Warta PRA KONGRES PMII

PMII harus Mampu Melihat Realitas Baru

Rab, 5 Januari 2011 | 12:33 WIB

Jakarta, NU Online
Jika ingin tetap eksis dan diterima keberadaannya oleh para mahasiswa, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) harus mampu melihat realitas baru karena situas yang ada saat ini belum tentu sesuai dengan mindset yang dimiliki sekarang.

Hal ini diungkapkan oleh Dwi Winarno, ketua Pengurus Koordinator Cabang (PKC) PMII Jakarta dalam pembukaan acara Temu Nasional PKC dan PC PMII seluruh Indonesia di gedung PBNU, Rabu (5/12).<>

Ia mencontohkan, Indonesia saat ini sedang melewati proses transisi demokrasi, tetapi ke depan akan menjalani transisi demokrasi yang mana peran-peran organisasi mahasiswa seperti PMII akan dipertanyakan karena masing-masing kelompok telah fokus pada satu isu tertentu.

Jika tak mampu mendefinisikan ulang perannya, maka PMII akan semakin ditinggalkan karena selama ini PMII masih menggarap seluruh isu. Keunggulan dari fokus ini sudah terlihat, misalnya peran dilakukan oleh ICW dalam hal korupsi atau WALHI dalam soal lingkungan.

“Meskipun kita demo korupsi dengan ratusan massa, tetapi yang didengar tetap ICW karena mereka memiliki dana dan data sementara kita tidak. Demikian pula dengan isu lingkungan, WALHI jauh lebih kompeten daripada kita,” katanya.

Sejauh ini, yang menyatukan diri para mahasiswa untuk masuk PMII adalah kesamaan ritus yang dijalani seperti tahlilan, tarawih 23 rakaat, subuh pakai kunut dan tradisi NU lainnya, tetapi belum mampu memikirkan sebuah ide substansisf yang mampu menjadi nilai dan gerakan bersama.

Saat ini, yang tengah digagas oleh PKC PMII Jakarta adalah mengembangkan konsep Aswajaethic, dengan mengembangkan sebuah nilai-nilai etik yang berbasis aswaja.

Hal lain yang perlu dilakukan dalam kongres kali ini adalah menata sistem keorganisasian agar tidak terjadi abuse of power dan vacum of power.

Sementara itu Mabinas PMII Amsar Dulmanan menjelaskan, PMII tetap eksis karena adanya semangat untuk terus melakukan perubahan. Dalam hal ini, gerakan intelektualitas harus menjadi bagian inti dari PMII.

“Kita telah memiliki konsep filosifis yang agamis sebagai landasan pemikiran kita, tinggal bagaimana mengimplementasikannya dalam sebuah gerakan,” katanya.

Proses pengkaderan di lingkungan PMII saat ini harus mengarah kepada meningkatan kualitas, bukan kuantitas karena lima orang kader yang berkualitas lebih bernilai daripada banyak orang, tapi tak menghasilkan apa-apa.

Dari pengalamannya selama ini memberi orientasi dalam Mapaba, ribuan peserta yang mengikuti orientasi ternyata yang berhasil hanya bisa dihitung dengan jari.

Sebagai sebuah organisasi mahasiswa, ia berharap mereka yang ingin menjadi ketua menyelesaikan pendidikannya dengan benar. “Jangan sampai ketua cabang sekolahnya malah ngak benar,” katanya.

Sejauh ini semakin banyak kader PMII yang meraih gelar doktor, sementara yang bergelar master sudah ngak terhitung. “Kita menjadi mahasiswa karena mampu melakukan analisis perubahan sosial yang lebih baik,” imbuhnya.

Mengenai penurunan performa organisasi pada satu periode kepengurusan tertentu yang mengikuti siklus gerakan mahasiswa nasional, ia berharap agar hal ini tidak dimaknai sebagai bagian dari takdir. Harus selalu ada upaya untuk menjaga kinerja organisasi untuk terus membaik dari waktu ke waktu. (mkf)