Jakarta, NU Online
Setiap kali kita mendengar nama Kitab Kuning, yang terbayang dalam benak kita adalah konservatisme dan keterbelakangan. Padahal, dari segi metodologi penyusunannya, kitab kuning jauh lebih terjamin terhindar dari kesalahan dan lebih kuat kebenarannya.
"Dalam penelitiannya, para ulama salaf ketika mengarang sebuah kitab sangat hati-hati. Seseorang yang pernah diketahui berbohong sekali saja tidak akan dijadikan nara sumber, sementara di dalam metode penelitian pakar Barat saat ini, tidak pernah mempertimbangkan faktor narasumber,"jelas Prof Dr Nasaruddin Umar dalam Studium General Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama di Graha Nahdliyyah PBNU Jakarta, Senin .
<>Menurut dosen pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta ini, tingkat keotentikan keilmuan yang terkandung di kitab kuning atau kitab karangan ulama salaf ini dapat dibuktikan lebih terjamin jauh dari kesalahan dan kebenarannya jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan. "Dalam ilmu hadis misalnya, sumber berita (rijalul hadist, sanad) dalam hadis harus lengkap dan setiap orang yang dijadikan sebagai sumber harus memenuhi kualifikasi tertentu. Bahkan orang yang pernah diketahui makan di jalanan sambil berdiri, berbaju lengan pendek apalagi pernah berbohong, tidak bisa dijadikan sumber dalam tradisi keilmuan Islam,"lanjut salah seorang mantan ketua PBNU itu. Ia menyebut karya sejarahwan Thobari yang terdiri dari beberapa jilid karena sumbernya yang sangat lengkap.
Dalam kitab yang banyak menjadi rujukan kalangan santri di Indonesia itu juga terkandung ribuan ilmu-ilmu kuno bahkan ilmu induk. "Copernicus yang dianggap sebagai salah satu bapak ilmuwan barat itu ternyata karyanya dari hasil menerjemahkan dari tulisan seorang ilmuwan Islam. Di Islam seorang ilmuwan bernama Ibnu Rusy. Pada pagi hari ia menjadi dokter di klinik, sore menjadi ulama pemberi fatwa di Masjid dan malam hari menjadi seorang sufi,"tambah professor yang lama tinggal di Amerika ini. Bahkan, karya Fikih Ibnu Rusy Bidayatul Mujtahid, sebuah kitab Fikih perbandingan dinilai sebagai salah satu karya terbaik hingga saat ini.
Dalam orasi limiahnya, Prof Nasaruddin juga mengupas perkembangan ilmu pengetahuan di dunia. Ia menjelaskan, sekitar 600 tahun sebelum masehi tradisi kebebasan berfikir di dunia akhirnya melahirkan sejumlah ilmuwan besar seperi Socrates, Aristoleles, Thales, dan lain sebagainya. Namun dari tahun 0 hingga 600 masehi, kebenaran dipasung oleh kecongkakan para penguasa. Baru kemudian Nabi Muhammad dilahirkan, tradisi keilmuan dan religiusitas kembali jaya.
"Siklus 600 tahun ini terulang lagi. Ada yang mencipta, pembubak, lalu dikembangkan, lalu melemah dan hancur. Tahun 1200 M Islam jatuh, tahun 1800 M terjadi skularisasi dan saat Insya Allah tidak lama lagi akan terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang berbasis agama,"jelasnya.
Untuk mengantisipasi perkembangan ke depan, Prof Nasaruddin meminta kaum santri tidak minder, tapi bahkan harus lebih bersemangat, terlebih tradisi pengetahuan berbasis kitab kuning sudah tidak asing lagi bagi masyarakat santri. Ilmu yang ada di kitab tersebut dapat lebih dikembangkan dengan mengusai dua ilmu alat, yaitu Bahasa Arab dan Inggis, pintanya kepada mahasiswa STAINU. Pada Stadium General ini Prof Nasaruddin didampingi oleh Mujib Qolyubi, M.Hum. Aceng Abdul Aziz dan Jazil Fawaid. (MA)
Terpopuler
1
Apa Itu Dissenting Opinion dan Siapa Saja Hakim yang Pernah Melakukannya?
2
Khutbah Jumat: Inspirasi Al-Fatihah untuk Bekal Berhaji ke Baitullah
3
Harlah Ke-74: Ini Asas, Tujuan, dan Lirik Mars Fatayat NU
4
Kajian Lengkap Kriteria Miskin bagi Pekerja dalam Bab Zakat
5
3 Hakim Nyatakan Dissenting Opinion, Paslon 01 dan 03 Terima Putusan MK
6
Khutbah Jumat: Menjadikan Diri Pribadi Taat melalui Khutbah dan Shalat Jumat
Terkini
Lihat Semua