Warta

Prof Nasaruddin: Kitab Kuning Lebih Otentik

Sen, 29 Maret 2004 | 12:55 WIB

Jakarta, NU Online
Setiap kali kita mendengar nama Kitab Kuning, yang terbayang dalam benak kita adalah konservatisme dan keterbelakangan. Padahal, dari segi metodologi penyusunannya, kitab kuning jauh lebih terjamin terhindar dari kesalahan dan lebih kuat kebenarannya.

"Dalam penelitiannya, para ulama  salaf ketika mengarang sebuah kitab  sangat hati-hati.  Seseorang yang pernah diketahui berbohong sekali saja tidak akan dijadikan nara sumber, sementara di dalam metode penelitian   pakar Barat  saat ini, tidak pernah mempertimbangkan faktor narasumber,"jelas Prof Dr Nasaruddin Umar  dalam Studium General Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama di Graha Nahdliyyah PBNU Jakarta, Senin .

<>

Menurut dosen pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta ini,   tingkat keotentikan keilmuan yang terkandung di kitab kuning atau kitab karangan ulama salaf ini  dapat dibuktikan lebih terjamin  jauh dari kesalahan  dan kebenarannya jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan. "Dalam ilmu hadis misalnya, sumber berita (rijalul hadist, sanad) dalam hadis harus lengkap dan setiap orang yang dijadikan sebagai sumber harus memenuhi kualifikasi tertentu. Bahkan orang yang pernah diketahui makan di jalanan sambil berdiri, berbaju lengan pendek apalagi pernah berbohong, tidak bisa dijadikan sumber dalam tradisi keilmuan Islam,"lanjut salah seorang mantan ketua PBNU itu. Ia menyebut karya sejarahwan Thobari yang terdiri dari beberapa jilid karena sumbernya yang sangat lengkap.

Dalam kitab yang banyak menjadi rujukan kalangan santri di Indonesia itu juga terkandung ribuan ilmu-ilmu kuno bahkan ilmu induk. "Copernicus yang dianggap sebagai salah satu bapak ilmuwan barat itu ternyata karyanya dari hasil  menerjemahkan dari tulisan seorang ilmuwan Islam. Di Islam seorang ilmuwan bernama Ibnu Rusy. Pada pagi hari ia menjadi dokter di klinik, sore menjadi ulama pemberi fatwa di Masjid dan malam hari menjadi seorang sufi,"tambah professor yang  lama tinggal di Amerika ini. Bahkan,  karya Fikih Ibnu Rusy Bidayatul Mujtahid, sebuah kitab Fikih perbandingan dinilai sebagai salah satu karya terbaik hingga saat ini.

Dalam orasi limiahnya, Prof Nasaruddin  juga mengupas  perkembangan ilmu pengetahuan di dunia. Ia menjelaskan, sekitar 600 tahun sebelum masehi  tradisi kebebasan berfikir  di dunia akhirnya melahirkan sejumlah ilmuwan besar seperi Socrates, Aristoleles,  Thales, dan lain sebagainya. Namun  dari tahun 0 hingga 600 masehi,  kebenaran dipasung oleh kecongkakan para penguasa. Baru kemudian Nabi Muhammad dilahirkan, tradisi keilmuan dan religiusitas kembali jaya.

"Siklus 600 tahun ini terulang lagi. Ada yang mencipta, pembubak, lalu dikembangkan, lalu melemah dan hancur. Tahun 1200 M Islam jatuh, tahun 1800 M terjadi skularisasi dan saat Insya Allah tidak lama lagi akan terjadi  perkembangan ilmu pengetahuan  yang berbasis agama,"jelasnya.  

Untuk mengantisipasi perkembangan  ke depan, Prof Nasaruddin meminta kaum santri tidak minder, tapi bahkan harus lebih bersemangat,  terlebih tradisi  pengetahuan berbasis kitab kuning sudah tidak asing lagi bagi masyarakat santri. Ilmu yang ada di kitab tersebut dapat lebih dikembangkan dengan mengusai dua ilmu alat, yaitu Bahasa Arab dan Inggis, pintanya kepada mahasiswa STAINU. Pada Stadium General ini Prof Nasaruddin didampingi oleh Mujib Qolyubi, M.Hum. Aceng Abdul Aziz dan Jazil Fawaid. (MA)