Warta DISKUSI NU ONLINE

Saatnya NU Kembali Berkesenian

Jum, 30 Juni 2006 | 14:58 WIB

Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama (NU) perlu kembali menempatkan kesenian sebagai medan terpenting untuk melakukan kerja-kerja sosial-keagamaan. Sebagai organisasi Islam yang paling gencar mengampanyekan terma “kebudayaan Nusantara” NU akhir-akhir ini semakin jauh dari dunia kesenian.

Hal itu diungkapkan Ahmad Tohari, salah seorang novelis asal pesantren, dalam diskusi bulanan NU Online bertajuk “Sastrawan Santri Menatap Realitas Nusantara” di gedung PBNU, Jakarta, Jum’at (30/6).

<>

Dikatakan Tohari, para pemeluk Islam awal di Nusantara ini sangat antusias dengan berbagai kesenian tradisional. Belakangan kesenian ini tergusur oleh banyak hal, terutama munculnya pemahaman Islam yang kaku dan serba Arab.

“Yang kita butuhkan sebenarnya dalam komunitas NU adalah memberikan kesempatan kepada para seniman dan budayawan, misalnya, kalau ada acara-acara NU dari tingkat Nasional sampai desa. Jadi ada semacam perubahan pikiran yang diharapkan, agar kita kembali berkesenian seperti dulu,” kata Tohari.

Kesenian yang islami, menurut Tohari, tidak hanya berbentuk kasidah, hadrah, nasyid, dan sejenisnya yang biasa diadakan di mesjid-mesjid atau majelis ta’lim. “Apa salahnya nanggap dalang, wayang, menaggap siteran, dan sejenisnya. Sunan Kalijogo itu ngeronggeng beneran lho,” katanya.

Satrawan lain yang hadir dalam diskusi terbatas itu, Danarto, menimpali, Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah Islam adalah sosok yang sangat senang dengan puisi yang sangat digandrungi di Arab waktu itu. “Nabi kalau pengen denger puisi langsung memanggil para penyair dari Hanifiah untuk berlomba membaca puisi di hadapan Beliau,” katanya.

Ahmad Tohari menambahkan, dalam rangka menggeluti kembali dunia kesenian, NU tidak perlu membuat institusi seni semacam Lembaga Sei Budaya Muslim NU (Lesbumi). Lesbumi sempat berjaya di era Soekarno dan saat ini dalam keadaan hidup-mati, namun, menurutnya, menghidupkan kembali Lesbumi sangat tidak kontektual.

“Lesbumi waktu itu kan hanya untuk menyaingi Lekra. Biarkan saja para seniman lahir dari rahim NU, ndak usah memberi label NU. Lagi pula, memberikan lebel dalam kesenian itu adalah suatu pemasungan yang luar biasa. Biarlah kesenian menjalankan tugasnya, meninggikan martabat manusia,” kata Tohari. (nam)