Warta

Said Aqil: Haram Sholat Berbahasa Indonesia

NU Online  ·  Rabu, 4 Mei 2005 | 08:26 WIB

Jakarta, NU Online
Adanya sholat berbahasa Indonesia yang dilakukan oleh Ustadz Muhammad Roy dari  Pesantren I’tikaf Ngadi Lelaku Ds. Sumber Waras Lawang Malang terus mendapat tentangan. Ketua PBNU KH Said Aqil Siradj juga menyatakan ketidaksetujuannya dengan tata cara sholat seperti itu.

Di dalam Qur’an ada hal-hal yang sifatnya qot’i atau tidak boleh ditawar-tawar lagi seperti cara sholat, cara haji, cara-cara ibadah ritual termasuk hukum waris, 13 hal yang diharamkan untuk dimakan, yang haram dinikah. semua hal tersebut cuma 5 persen dari kandungan Al Qur’an sedangkan yang lainnya diperbolehkan atau biasa disebut dhonni.

<>

“Hikmahnya apa, ini untuk menjaga orisinilitas Islam. Seandainya sholat itu bisa diterjemahkan, lama-lama bisa surut-surut terus hilang seperti agama lain. Islam dengan berbagai madzah semua sholatnya sama, Sholat harus berbahasa Arab, kalau doanya bisa berbahasa Indonesia,” tandasnya.

Ditanya bahwa sholat dengan bahasa Indonesia ini agar bisa memahami makna sholat, alumni Universitas Ummur Quro Madinah tersebut berpendapat bahwa hal tersebut bisa dilakukan dengan mengajarkannya di luar sholat sedangkan dalam ritual sholat, harus dengan bahasa Arab.

Kasus sholat dan azan dengan penggunaan bahasa lokal pernah diterpkan oleh pemimpin Turki Kemal at Tartuk. Namun demikian semua ulama dan ummat menolaknya dan saat ini kembali seperti semula. “Sholat berbahasa Persia tidak sempat berlaku, tetapi kalau Azannya sempat berlaku, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi,” imbuhnya.

Kang Said yang pernah lama nyantri di Lirboyo tersebut berpendapat sebenarnya kalau azan dengan penggunaan bahasa lokal, masih bisa dimungkinkan sedangkan sholat merupakan hal yang sepenuhnya harus sesuai dengan ajaran dalam Qur’an.

Jika hal tersebut dilakukan, maka nanti akan muncul ide bahwa Qur’an cukup dengan terjemahannya atau menggunakan bahasa lokal. “Nanti lama-lama Qur’an hilang bahasa Arabnya dan tinggal terjemahannya,” tambahnya.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Kang Said menyatakan bahwa orang tersebut harus diberi pengertian sedangkan secara hukum hal tersebut memang wewenang pemerintah untuk melarangnya.(mkf)