Warta LOKAKARYA TRANSLITERASI NAHDLIYIN

Transliterasi Harus Mengacu Tradisi Lisan

Sel, 16 Februari 2010 | 06:11 WIB

Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menegaskan, transliterasi atau alih-aksara dari Arab ke Latin harus didasarkan pada bacaan Al-Qur’an ketika dilafadlkan dan bukan kata-perkata. Maka transliterasi berdasar pada tradisi lisan yang telah berkembang di masyarakat sejak awal perkembangan Islam di Nusantara tetap harus dipertahankan.

Hal itu disampaikan dalam Lokakarya Transliterasi Nahdliyin di kantor PBNU, Jakarta selama dua hari, Senin-Selasa (15-16/2). Acara diadakan oleh Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU dengan mengundang perwakilan LTN Wilayah se-Jawa dan beberapa penerbit di lingkungan NU.<>

“Saya ingin bacaan Al-Qur’an menjadi pedoman utama dalam transliterasi. Jadi transliterasi adalah mengoraliti atau melisankan Al-Qur’an dalam tulisan. Jangan sampai menulis itu juga bisa mengkelirukan bacaan,” kata Kiai Hafidz.

Menurutnya, transliterasi yang berdasar pada tradisi lisan ini sangat mudah dilakukan. Selain itu model transliterasi ini telah berkembang di masyarakat.  “Apa yang sudah hidup, dalam istilah fikih itu namanya urf. Dalam kaidah fikih, urf menjadi hukum,” katanya.

Alih-aksara huruf Arab ke huruf Latin dalam ejaan bahasa Indonesia pernah diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri pendidikan dan Kebudayaan Nomor 158 tahun 1987 - Nomor: 0543 b/u/1987.

Menurut Kiai Hafidz alih-aksara dalam SKB itu perlu dikaji ulang. Selain beberapa diantaranya menjauhkan dari bunyi atau bacaan yang sebenarnya, juga praktis sering tidak dipatuhi oleh Departemen atau Kementerian Agama sendiri.

“Depag sering tidak konsisten. Misalnya beberapa buku yang diterbitkan Depag dalam pembukaan menyebut transliterasi yang dipakai adalah model tahun 1987 yang salah satu aturannya memisahkan kata perkata, tapi di dalam buku yang dimaksud tidak mengacu transliterasi 1987 itu. Misalnya menulis bismillahirrahmanirrahim disambung semua seperti kita. Ini kan rancu,” katanya

Contoh lain dalam transliterasi berdasarkan bunyi atau tradisi lisan ini misalnya dalam kata dari rangkaian dua kata seperti ‘rasulullah’ tidak perlu dipisah menjadi ‘rasul Allah’. Apalagi kata ‘rasulullah’ ini telah menjadi kata serapan bahasa Indonesia.

Pemerhati budaya Bisri Effendi dalam lokakarya itu memaparkan, persoalan transliterasi menyimpan pertarungan dua paham yakni antara penganut tradisi lisan dan tulisan, atau antara oraliti dan literasi. "Ini adalah pertarungan yang besar," katanya. (nam)