Cerpen

Warung Kopi Mbok Siti

Ahad, 24 Agustus 2025 | 18:00 WIB

Warung Kopi Mbok Siti

Ilustrasi

Cerpen: Akhmad Mubarok
Di sebuah gang sempit, di pinggiran kota Purwokerto, berdirilah warung kopi sederhana milik mbok Siti Nur Yanti, yang sering dipanggil Mbok Siti. Warung itu tak lebih dari bangunan semi permanen, berdinding bambu dan atap seng yang sudah berkarat. Meski begitu, warung kecil itu selalu ramai dikunjungi warga, tetangga yang sekadar ingin menyeruput kopi, berbagi kabar, atau sekadar mencari hiburan gratis lewat obrolan ngalor-ngidul.yang tak berujung.

 

Mbok Siti, seorang janda berusia empat puluh satu tahun, sudah bertahun-tahun mengandalkan warungnya untuk menghidupi diri dan kedua anaknya. Suaminya meninggal karena sakit asma dan dibiarkan, tidak diobati karena tidak mampu bayar BPJS. Kadang jika pas kambuh parah, dibelikannya obat warung .Sejak itu Mbok Siti menanggung dua anaknya seorang diri. Anaknya yang sulung, Rani, saat ini duduk di bangku SMA. Sedangkan yang bungsu, Rino, baru kelas 5 Sekolah Dasar.


Belakangan, harga-harga bahan pokok untuk dagangannya terus naik. Gula pasir, kopi, bahkan gorengan yang biasa dijualnya pun terpaksa dinaikkan seratus atau dua ratus rupiah. Mbok Siti tahu benar, pelanggan warungnya sebagian besar adalah tukang becak, buruh harian, atau tetangga yang ekonominya pas-pasan.

 

"Ora tega aku, Ran, kalau harganya dinaikkan banyak, para pelanggan nanti nggak bisa beli lagi," begitu ia sering mengeluh pada Rina.

 

Pagi itu, Mbok Siti sedang menanak nasi kuning untuk dijual. Tiba-tiba Rani masuk ke dapur sambil membawa brosur dari sekolah.


"Bu, ini formulir daftar ulang. Kata Pak Guru harus bayar seragam sama iuran kegiatan sekolah. Totalnya lima ratus ribu," kata Rani dengan suara lirih.


Mbok Siti berhenti mengaduk nasi. Tangannya gemetar, matanya menerawang jauh. Lima ratus ribu bukan jumlah kecil. Omset warungnya sehari-hari hanya sekitar tiga ratus ribu, itu pun belum dipotong modal.

 

"Ndak usah khawatir, Nduk. Gusti Allah ora sare. Pasti akan memberikan jalan. Yang penting kamu sekolah terus. Simbok bakal usaha," jawab Mbok Siti dengan senyum yang dipaksakan.


Namun dalam hati, ia bingung harus mencari tambahan dari mana.

 

Siang harinya, beberapa pelanggan setia datang. Pak Mardi, seorang tukang becak langganan, duduk sambil menyeruput kopi hitam.


"Mbok Siti, sekarang harga-harga mundhak. Solar, beras, minyak. Kita wong cilik kayak disuruh melawan angin topan. Ongkos naik becak tidak bisa dinaikkan, wong penumpang saja sepi," keluhnya.

 

Di sampingnya, Pak Narto, buruh bangunan, ikut menyahut. “Benar, Mar. Aku kerja proyek tidak pasti. Kadang seminggu cuma kerja dua hari. Anakku tiga, butuh sangu sekolah. Kadang mung bisa utang di warung.”

 

Mereka berbincang panjang. Warung Mbok Siti menjadi saksi keluh kesah kaum kecil. Meski penuh beban, mereka masih bisa saling melempar candaan. Terkadang ada tawa kecil walau berat.


"Aku ini asli pengin diet, Ning. Tapi yang bikin gering bukan olahraga, ningen dompetku yang tipis, Mbok Siti,” kata Pak Mardi sambil tertawa getir. Semua pun ikut tertawa, meski tawa itu tak mampu menghapus resah mereka.

 

Rani yang ikut  berusaha, melihat ibunya kebingungan mencari tambahan uang, Rani mencoba membantu mencari duit, Dia pandai menggambar dan suka membuat kerajinan tangan. Sore itu Dia membawa beberapa hasil karyanya ke sekolah, berharap ada teman atau guru yang mau membeli.

 

Beberapa teman ada yang tertarik membeli gantungan kunci buatannya. Harganya lima ribu rupiah per satuan. Walau hanya sedikit, Rani merasa bangga bisa meringankan beban ibunya.


Di rumah, dia menunjukkan uang hasil jualannya. "Mbok, ini hasil jualan saya dapat satus ewu. Bisa buat nambah bayar daftar ulang.”

 

Mbok Siti memeluk anaknya erat-erat. “Terima kasih, Nduk. Ibu bangga karo awak-mu. Tapi aja klalen sekolah, ya. Jangan hanya mikir uang saja.”


Sementara itu, Rino diam-diam punya masalah sendiri. Sepatunya sudah bolong, bagian ujungnya terbuka sehingga jempol kakinya sering terlihat. Ia malu setiap kali olahraga di sekolah. Namun ia tidak berani meminta ganti pada ibunya.


Suatu hari, guru olahraga memanggilnya. "Rino, sepatumu kok bolong masih dipakai? Apa tidak ada yang lain?”

 

Rino menunduk. “Nggih, Pak. Tidak apa-apa. Masih bisa dipakai kok."


Kabar itu akhirnya sampai ke Mbok  Siti. Malamnya, mbok Siti termenung sambil menatap sepatu anaknya. Hatinya remuk, merasa gagal sebagai ibu. Tapi ia bertekad, apapun caranya, anak-anaknya harus tetap sekolah dan tidak minder.


Keesokan harinya, Mbok Siti mencoba hal baru. Ia membuat gorengan lebih variatif: pisang, tempe mendoan, dan tahu isi. Ia juga menawarkan kopi literan untuk dibawa pulang. Ide itu ia dapat dari obrolan pelanggan yang ingin kopi praktis di rumah.


Tak disangka, dagangannya lumayan laris. Bahkan beberapa tetangga memesan gorengan untuk acara arisan, tahlilan dan lainnya.Meski untungnya tidak banyak, setidaknya ada tambahan pemasukan.


Selain itu, Mbok Siti memberanikan diri mendaftar program bantuan sosial di kelurahan. Awalnya Dia merasa malu, namun tetangganya meyakinkan bahwa ia memang berhak.


Hari-hari tetap berat. Harga bahan baku daganganya masih naik-turun, pekerjaan tetap tak pasti. Namun di warung kecil itu, orang-orang belajar saling menguatkan. Mereka berbagi kabar lowongan kerja, tips berhemat, hingga sekadar tawa penghibur, penutup duka nestapa.


Pak Narto suatu kali berkata, "Kita ini wong cilik kudu kreatif. Sangkan ora, bisa ketindes zaman. Aku sekarang sambil beternak lele, minimal bisa buat tambahan lauk.”


Mbok Siti mengangguk. “Benar, Pak. Semua usaha harus dicoba. Kita tidak bisa hanya mengeluh dan pasrah.”

 

Rani yang mendengar itu merasa mendapat semangat baru. Dia bermimpi suatu hari bisa kuliah, lalu membantu ibunya membuka usaha yang lebih besar.

 

Sabtu sore, Rani menyerahkan amplop ke ibunya. “Mbok, ini uang tabungan dari hasil jualan dan tambahan dari lomba menggambar kemarin. Jadi total sudah cukup buat daftar ulang sekolah.”


Mbok Siti terharu, matanya berkaca-kaca. Ia spontan memeluk Rani dan Rino sekaligus.


“Anak-anakku, kalian adalah kekuatanku. Walau hidup kita susah kita tidak boleh menyerah."


Di luar, suara hujan turun deras membasahi atap seng warung. Terselip doa lirih dari bibir Mbok Siti, meminta keselamatan dan kesuksesan untuk kedua anaknya: "Ya Rabb, aku titipkan mereka kepada-Mu."


Di luar hujan terasa dingin, namun di dalam, ada kehangatan yang membuat hati mereka tetap kuat. 


Rawalo, 22 Agustus 2025


Akhmad Mubarok, mengajar di SDN 1 Cindaga, Kebasen. Aktif di Lesbumi NU Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Karyanya mayoritas berbahasa Banyumas sering terbit di Majalah Ancas yang dipimpin sastrawan-budayawan Ahmad Tohari. Barik turut menjadi tim Majalah Boba serta menerbitkan serial berbahasa Banyumasan bertajuk Agus Markondel.