Haul Pertama Mbah Umar Tumbu, Warga NU Diminta Ikuti Jejaknya
Jumat, 22 Desember 2017 | 22:03 WIB
Apabila ada kiai pelayan umat, dermawan, lemah lembut, semasa muda hidup berkelana dengan jualan tumbu (wadah dari anyaman bambu) dan membangun masjid, mengabdi pada NU tanpa batas, selalu mengajak kepada kaum muslim agar senantiasa menjaga kerukunan dan persatuan, itulah Almaghfurlah KH Umar Syahid alias Mbah Umar Tumbu Pacitan.
Genap setahun sejak Mbah Umar Tumbu wafat pada Rabu 4 Januari 2017 lalu, kaum Muslim khususnya warga NU Pacitan masih merasakan kehilangan atas kepergian ulama yang semasa hidup pernah menjadi mustasyar PCNU Pacitan itu.
Kamis (21/12) malam ratusan kaum Muslim memenuhi kompleks Pesantren Nur Rohman, Njajar, Donorojo, Pacitan. Mereka dengan khidmat mengikuti peringatan haul yang pertama dari wafanya Mbah Umar. Haul diawali dengan pembacaan tahlil dan pembacaan shalawat Ratibul Haddad.
Tampak hadir dalam majelis haul ini para kiai dan habaib di antaranya, Rais Syuriyah PCNU Pacitan KH Abdullah Sadjad, Ketua PCNU Pacitan KH Mahmud, KH Muhammad Tajuddin, Habib Husain Ba’bud, Habib Habsy bin Abdullah Al-Habsy, tokoh masyarakat, dan para santri dari berbagai daerah.
Di samping berkirim doa kepada Mbah Umar, melalui haul ini warga NU sedang menunjukkan bahwa ada kerinduan terhadap figur seorang kiai sepuh. Figur Mbah Umar yang dikenal sebagai sosok manusia saleh dan ikhlas harus selalu diingat agar kiprahnya menjadi teladan bagi para santri dan generasi selanjutnya.
“Dengan haul ini kita juga ingin mendengarkan riwayat beliau. Artinya agar selalu terngiang di benak kita, di hati kita, di ingatan kita tentang kiprah perjuangan Mbah Umar sehingga kita bisa mengikuti jejak-jejaknya. Jangan sampai dengan wafatnya beliau ini, kita putus hubungan dengan beliau,” tutur Habib Husain Ba’bud, salah satu santrinya dari Kediri.
Menurut Habib Husain, Mbah Umar merupakan paku bumi. Mbah Umar diyakini memiliki kedudukan istimewa. Nilai istimewa itu adalah pada kualitas atau derajat ketundukan kepada Allah SWT. Mbah Umar semasa hidup menjadi azimatnya masyarakat Pacitan dan Indonesia pada umumnya.
Mbah Umar pernah menitipkan sejumlah pesan kepada warga NU untuk menjaga persatuan, dan menjaga keimanan keluarga. Sepeninggal Mbah Umar, warga NU diminta tetap teguh menjalankan amaliyah ahlusunnah wal jamaah yang telah diwariskan oleh para sesepuh terdahulu.
“Semoga kita tetap atas kecintaan terhadap guru kita Mbah Umar. Semoga kita terhindar dari segala musibah dan bencana. Terutama bencana akidah. Selalu dihindarkan dari akidah sesat menyesatkan yang tidak diajarkan para guru kita, sesepuh kita, utamanya Mbah Umar,” katanya.
Habib Habsy bin Abdullah Al-Habsy, Solo, memiliki kesan tersendiri terhadap sosok Mbah umar. Menurutnya, Mbah Umar adalah figur kiai yang lemah lembut dan selalu menyejukkan kepada siapapun.”Mbah Umar selalu tersenyum kepada siapapun,” ungkap Habib.
Kepada Mbah Umar, biasanya warga NU mengadukan segala persoalan kehidupan yang dirasa berat, untuk mendapatkan nasihat dan terutama doa agar Allah berkenan memberi kemudahan atau mengabulkan hajat mereka.
“Yang istimewa dari Mbah Umar adalah dalam hal memuliakan tamu. Mbah Umar tidak pernah membeda-bedakan tamunya. Semuanya diterima oleh Mbah Umar. Njaluk Dungo, didongakno (meminta doa, semua didoakan). Beliau tidak pernah menolak. Beliau yang mendoakan Allah yang mengabulkan,” tutur Habib yang beberapa kali pernah sowan kepadanya.
KH Umar Syahid atau Mbah Umar Tumbu wafat dalam usia 114 tahun. Namun ada yang menyebut, usiannya 132 Tahun. Pada masa remajanya, ia menjadi murid KH Dimyathi Abdullah di Pesantren Tremads Pacitan. Selama nyantri, ia tergolong santri yang kekurangan. Ia terbiasa hidup prihatin, bahkan konon ia tidak memiliki bekal untuk nyantri. Namun hal itu tidak menyurutkan kegiihan dan ketekunanya untuk belajar. (Zaenal Faizin/Alhafiz K)