Daerah

Idul Fitri, Momentum Merajut Persaudaraan yang Terserak

Kamis, 6 Juni 2019 | 02:30 WIB

Jember, NU Online
Gonjang-ganjing dan  ketegagan politik usai perhelatan Pemilu beberapa waktu lalu, harus segera disudahi. Perayaan lebaran adalah  momentum yang pas untuk sama-sama meleburkan  egoisme dan kepentingan politik dalam sakralitas shalat Idul Fitri. Hal tersebut diungkapkan oleh A’wan Syuriyah PWNU Jawa Timur, H Babun Suharto saat menjadi khotib shalat Idul Fitri di Masjid Nur Inka Brigif 9 Kostrad Jember, Rabu (5/6).

Menurutnya, ciri khas Idul Fitri adalah saling memaafkan dan upaya menuju perbaikan. Karena itu, segala perbedaan, termasuk perbedaan pilihan politik, sudah saatnya dieleminasi, dan berbaur dalam persaudaraan dan kebersamaan demi membangun bangsa Indonesia yang  gemilang di masa-masa mendatang.

“Untuk membangun Indonesia yang besar ini, dibutuhkan kebersamaan dan persaudraan yang kokoh. Tidak elok kalau kita hanya terjebak dalam memperturutkan hawa nafsu dengan memperuncing perbedaan. Sebab jika begitu, sampai kapan energi kita harus dihabiskan untuk sesuatu yang sia-sia,” ujarnya.

Ia berharap agar Idul Fitri menjadi tonggak untuk merajut ukhuwah kebangsaan, lebih-lebih dalam situasi saat ini di mana badai fitnah dan ujaran kebencian dirasa sulit terkawal, bahkan dilakukan terang-terangan di tengah publik melalui media sosial. Bukan mengada-ada, karena faktanya fitnah dan ujaran kebencian sangat potensial untuk mencerai-beraikan persatuan, bahkan meluluhlantakkan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

“Bangsa ini butuh kekompakan, kebersamaan dan solidaritas untuk menjadi besar,” ungkapnya.

Pada hakekatnya, lanjut H Babun, bulan Ramadhan adalah laboratorium, pusat latihan, bengkel penggemblengan diri, pencucian rohani (spiritual loundry), untuk mencapai derajad kepribadian yang mulia. Manusia puasa adalah manusia yang sanggup dan mampu membedakan mana yang benar dan yang salah.

Berpuasa yang benar, katanya, melahirkan nilai-nilai spiritual, menciptakan suku cadang mental dan moral. Dimensi puasa luas, tidak sekadar menahan makan dan minum. Namun lebih dari itu, puasa Ramadhan perlu dijadikan latihan untuk membentuk jiwa yang matang, sejuk dan  mencentai kedamaian.

“Dalam konteks itu, maka tindakan radikal dan terorisme yang dilakukan segelintir orang,  tentu tidak bisa dibenarkan, apalagi mereka selalu mengatasnamakan Islam,” ucapnya.

Rektor IAIN Jember itu menegaskan, setidaknya ada empat hal yang bisa dilakukan secara bersama-sama dalam rangka membangun bersamaan, solidaritas kebangsaan yang ditunjukkan dengan penguatan tali persaudaraan sesama anak bangsa.

Pertama, mewaspadai segala bentuk tindakan radikalisme. Kedua, pentingnya kehadiran figur yang mampu mempersatukan dan mendamaikan. Ketiga, persaudaraan hendaklah melahirkan persatuan dan perdamaian.

Sedangkan keempat, menjaga keutuhan tali kasih persaudaraan, karena dalam praktiknya tak semudah membalikkan telapak tangan, kecuali bagi mereka yang benar-benar beriman.

“Dalam Islam, persaudaraan tidak hanya diikat oleh garis keturunan, tetapi juga oleh kesamaan akidah dan fungsi kemanusiaan. Sesama saudara sepatutnya tidak saling menzalimi dan menghina, tetapi justru harus saling menguatkan,” urainya. (Aryudi AR).


Terkait