Daerah

Lakpesdam Jepara: UU Desa Titik Awal Pembangunan Desa

Ahad, 11 September 2016 | 16:01 WIB

Jepara, NU Online
Lembaga Kajian dan Pengembangan Daya Manusia (Lakpesdam) PCNU Jepara menyelenggarakan seminar dan workshop perihal UU Desa di Rumah Makan Maribu Jepara, Sabtu (10/9). Diskusi yang diikuti sedikitnya 100 orang ini dipandu dua fasilitator Deni Hendarko dari Bapermades Jepara dan Ari Sujito Sosiolog UGM Yogyakarta sekaligus Satgas Desa Kemendes RI.

Ketua Lakpesdam PCNU Jepara Ahmad Sahil menekankan bahwa sebelum adanya UU No.06 tahun 2014, desa identik dengan kekalahan dan ketidakberdayaan.

Desa, kata Gus Sahil, menjadi subsistem terbawah yang terasing dari pemerintahan republik ini. “Manisnya kue pembangunan hanya sebatas slogan yang tampak tidak berubah dari waktu ke waktu di desa adalah wajah kemiskinan dan keterbelakangan,” tegasnya sebagaimana rilis yang dikirim ke NU Online.

Meskipun terdapat potensi sumber daya alam yang menjanjikan pada akhirnya kekayaan tersebut akan dimanfaatkan oleh para kapitalis dan segelintir elit desa.

“Seiring dengan adanya UU Desa inilah cerita pembangunan desa dalam arti yang sebenarnya dimulai. Hal ini merupakan titik awal pembangunan desa tetapi harus ada komitmen bersama untuk memastikan UU desa ini terimplementasi secara maksimal,” harapnya.

Deni Hendarko menyatakan pelaksanaan UU Desa selama dua tahun ini diakui masih terdapat sejumlah kelemahan dalam tahap implementasinya di lapangan. Misalnya keterlambatan pencairan dana yang baru cair pada pekan ketiga bulan Desember 2015 mengakibatkan terbengkalainya rencana-rencana pembangunan yang sudah ada.

Sementara itu, Ari Sujito menjelaskan bahwa sesungguhnya semangat dari UU desa adalah mengembalikan desa beserta segala keistimewaannya setelah sekian lama dirusak dengan segala peraturan yang ada oleh rezim Orde Baru.

Semangat dari UU no.79 adalah menyeragamkan semua desa yang ada di Indonesia untuk memudahkan kontrol demi kepentingan kekuasaan negara. Penyeragaman ini telah merusak dan memusnahkan sistem pemerintahan dan sistem sosial yang bersumber dari kearifan lokal inilah zaman kegelapan desa yang diciptakan oleh rezim orde baru. Setelah lama dalam zaman kegelapan akhirnya zaman pencerahan menyingsing saat orde reformasi dengan terbitnya UU No.22 tahun 1999.

Semangat membangun desa berlanjut dengan UU No.32 tahun 2004, namun demikian UU ini hanya menyediakan banyak uang untuk pembangunan desa, namun prosesnya tetap top down. Hal ini semakin mengokohkan desa sebagai obyek pembangunan yang tidak bisa menentukan nasibnya sendiri.

Pembangunan tidak berbasis kebutuhan masyarakat desa akan tetapi hanya berbasis pada kepentingan orang kota terutama elit politik tertentu. Akhirnya sistem menjadi macet karena banyaknya kepala desa yang tidak melaksanakan musrembangdes dan masyarakat semakin apatis.

Sampai akhirnya muncullah program PNPM sebagai upaya korektif untuk pembangunan yang bias kota. Sayangnya PNPM hanya berbasis project, berhasil meningkatkan partisipasi masyarakat tetapi tidak mengubah sistem dan sumber pendanaannya juga hasil dari hutang bank dunia, semakin mempersulit posisi desa.

Sampai terbitnya UU desa tahun 2014 ini, Undang-undang ini sebetulnya adalah hasil dari perjuangan dari desa itu sendiri. Jika terdapat kelemahan dalam tataran desa dalam implementasinya harap dimaklumi bersama, tidak ada desa atau pun kepala desa yang bodoh yang ada adalah mereka belum diberi kewenangan dan kesempatan untuk belajar.

“Dorong desa untuk terus berinovasi dan membangun secara jujur jangan malah ditakut-takuti dengan rezim administratif. Jika ini sudah diwujudkan maka desa dengan sendirinya akan menjadi inklusif,” tandas Ari. (Red Alhafiz K)


Terkait