Nasional

Harlah Ke-81 Gus Mus, Ketua PBNU: Sosok Guru Bangsa yang Meneladankan

NU Online  Ā·  Ahad, 10 Agustus 2025 | 16:00 WIB

Harlah Ke-81 Gus Mus, Ketua PBNU: Sosok Guru Bangsa yang Meneladankan

Mustasyar PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dan Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla. (Foto: dokumentasi KH Ulil Abshar Abdalla)

Jakarta, NU Online

 

Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) pada hari ini, Ahad (10/8/2025), genap berusia 81 tahun.Ā 

 

Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) menyampaikan bahwa Gus Mus adalah figur langka yang layak disebut sebagai guru bangsa, yakni tokoh yang memberi arah, inspirasi, dan keteladanan bagi masyarakat luas. Peran seperti ini, menurutnya, sangat dibutuhkan di tengah arus perubahan zaman yang cepat dan kompleks.

 

Gus Ulil menuturkan, selama ini Indonesia memiliki banyak tokoh di bidang teknis seperti pengusaha, pegawai, pengajar, profesional, peneliti, sarjana, politisi, pedagang, dan petani. Semua sosok itu penting bagi kemajuan bangsa.Ā 

 

ā€œTetapi kita butuh juga sosok guru bangsa yang memberikan visi, inspirasi, serta keteladanan. Gus Mus masuk dalam kategori ini,ā€ ujar Gus Ulil, kepada NU Online.Ā 

 

Ia berharap sosok Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah itu tetap diberi kesehatan dan umur panjang, sehingga bisa terus membimbing masyarakat.Ā 

 

ā€œSemoga beliau masih diberikan umur panjang dan kesehatan,ā€ tambahnya.

 

Profil Gus Mus

 

Sebagaimana dikutip dari NUPedia di NU Online Super App, Gus Mus lahir di Rembang, Jawa Tengah, pada 10 Agustus 1994. Ia merupakan seorang kiai, sastrawan, dan pelukis. Di PBNU, Gus Mus menduduki amanah sebagai Rais Syuriyah selama beberapa periode, pernah menjadi Pj Rais Aam PBNU 2014-2015, Wakil Rais Aam PBNU 2010-2014, dan kini sebagai Mustasyar PBNU 2022-2027.Ā 

 

Gus Mus menjadi santri kelana di beberapa pesantren, di antaranya Pondok Pesantren Lirboyo (Kediri), Al-Munawwir (Krapyak, Yogyakarta), dan Raudlatut Thalibin, di Leteh, Rembang, pesantren ayahnya sendiri.

 

Ia kemudian belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Selama di sana ia menjadi sahabat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sejak pulang dari Kairo, Gus Mus kembali ke Rembang dan ikut mengelola Pesantren Raudlatuth Thalibin dan kini menjadi pimpinannya.Ā 

 

Sebagai kiai, Gus Mus aktif memberikan ceramah ke berbagai daerah dan rajin menerjemah karya-karya keagamaan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.Ā 

 

Karya-karya terjemahannya yang telah diterbitkan antara lain Dasar-dasar Islam (1401 H), Ensiklopedi ljma’ (bersama KH M.A. Sahal Mahfudh, 1987), Kimiya-us Sa'aadah (bahasa Jawa, Penerbit Assegaf Surabaya), Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Penerbit al-Huda Temanggung), Mahakiai Hasyim Asy’ari (1996), Metode Tasawuf al-Ghazali (1996), al-Muna (1997).

 

Gus Mus juga rajin menulis esai sosial-keagamaan yang sebagian juga telah diterbitkan, seperti Mutiara-mutiara Benjol (1994), Saleh Ritual Saleh Sosial (1995), Pesan Islam Sehari-hari (1997), dan Fikih Keseharian I-II (1997).Ā 

 

Di luar statusnya sebagai kiai, nama Gus Mus terkenal melampaui dinding-dinding pesantren dan lingkaran NU sebagai seorang penyair, cerpenis, dan pelukis. Puisi-puisinya mengandung sindiran sosial dan politik yang lucu tapi tajam, pedas tapi tidak menyakitkan, sederhana tapi mengena.Ā 

 

Karya seni Gus Mus, terutama puisi, telah menjadi subjek penelitian di banyak perguruan tinggi. Sebagai seniman, ia berkali-kali diundang ke mancanegara, baik Eropa maupun Timur Tengah, untuk membacakan puisi-puisinya maupun berceramah.

 

Pada 30 Mei 2009, Gus Mus memperoleh gelar doktor honoris causa dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam penganugerahan gelar itu, ia menyampaikan pidato yang berjudul "Mengkaji Ulang Beberapa Konsep Keislaman sebagai Mukaddimah Reformasi Keberagaman untuk Mengembalikan Keindahan Islam."