Nasional

Meneruskan Tiga Warisan Guru Bangsa: Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i

Ahad, 19 Maret 2023 | 14:00 WIB

Meneruskan Tiga Warisan Guru Bangsa: Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i

Tiga guru bangsa yang sangat menginspirasi kita, yaitu Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafii Maarif. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Pemikiran tiga cendekiawan Muslim Indonesia yakni Nurcholis Madjid (Cak Nur), KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Ahmad Syafi’i Ma’arif (Buya Syafi’i) menjadi warisan signifikan bagi generasi mendatang Indonesia.


Hal ini disampaikan oleh Pendiri Mulia Raya Foundation, Prof Siti Musdah Mulia dalam acara refleksi kebangsaan bertema Spirit Guru Bangsa: Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafii Ma’arif dalam Aspek Bernegara Masa Kini di Ballroom Djakarta Theater pada Sabtu (18/3/2023).


Adapun warisan tiga guru bangsa tersebut meliputi kemampuan berpikir kritis, kemampuan berperilaku demokratis, dan kemampuan beragama secara humanis.


Menurut perempuan yang pernah menjabat sebagai Ketua Pucuk Pimpinan Fatayat Nahdlatul Ulama 1990-2000 itu, mengasah kemampuan berpikir kritis tidaklah mudah. Pemikiran kritis terkait dengan kemampuan literasi dan kemampuan literasi.


Sayangnya, kemampuan literasi Indonesia kini tidak tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan. “Ada orang yang pendidikannya biasa saja, tapi literasinya cemerlang sekali,” kata dia.


Selain itu, warisan lain tiga guru bangsa tersebut adalah kemampuan bertindak atau berperilaku demokratis. Hal ini dinilainya menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki seseorang sebagai warga negara.


“Ini sangat diperlukan, tetapi syaratnya untuk bertindak atau berperilaku demokratis orang harus memiliki nilai keadaban. Karena bagi saya, demokrasi adalah civility values,” terang Pendiri dan Ketua Umum Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP) itu.


Sikap demokratis, lanjut dia, adalah perilaku untuk menghormati orang lain, menerima keberagaman serta kemajemukan.


“Itu bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba, tetapi sesuatu yang datang jauh sekali,” papar perempuan pertama peraih doktor dalam bidang pemikiran politik Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.


Terakhir, para guru bangsa juga mencontohkan sikap beragama secara humanis. Hal ini menjadi penting, karena pada ujungnya, orientasi agama ada pada kemaslahatan manusia.


Intinya, kata dia, bagaimana pun juga Indonesia tidak bisa dihilangkan dari keagamaan. PR-nya sekarang bagi generasi penerus adalah mengembangkan keagamaan yang membawa kepada kemanusiaan, keadaban, dan tingkat peradaban lebih baik.


Untuk itu, tiga warisan para tokoh bangsa tersebutperlu dikembangkan dalam bentuk pendidikan damai. “Ini sudah dilakukan oleh Cak Nur, Gus Dur dan Buya Syafi’i,” tegasnya.


Ia meyakini, pendidikan damai penting untuk dilakukan dan diperkuat dalam bentuk penguatan literasi kemanusiaan, kebangsaan, lingkungan, digital, serta kesetaraan dan keadilan gender.


Untuk diketahui diskusi publik Refleksi Kebangsaan diadakan oleh Sumbu Kebangsaan yang merupakan wadah kolaborasi inisiatif antara Nurcholish Madjid Society, Jaringan Gusdurian, dan Ma’arif Institute.


Pewarta: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Musthofa Asrori