Daerah

NU Minta Siraman Kiai Pradah Lebih Religius

Senin, 28 Januari 2013 | 02:02 WIB

Blitar, NU Online
Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Blitar KH Masdain Rifai berharap agenda rutin Siaraman Kiai Pradah di Blitar lebih religius dan menghindari ritual yang bisa mengarah ke hal-hal yang dilarang agama.<>

Seperti diwartakan, ribuan warga memadati alun-alun Lodoyo, di Kecamatan Sutojayan Kabupaten Blitar, Ahad (27/1). Mereka datang untuk menyaksikan tradisi siraman pusaka Gong Kiai Pradah yang dilaksanakan setiap bulan Rabiul Awal atau Maulid.

Selain melihat siraman, masyarakat juga banyak berebut air siraman. Sebagian masyarakat menganggap air ini bisa mendatangkan berkah. Selama ini daya tarik prosesi siraman pusaka memang terletak pada air jamasan. Terbukti, pengunjung yang memadati alun-alun rela berdesakan dan berebut air sisa jamasan yang disiramkan.

PCNU Blitar berharap panitia lebih memperhatikan nilai religinya selain daya tariknya untuk wisata. 

“Sebaiknya kegiatan ini diimbangi dengan kegiatan keagamaan. Misalnya istighotsah, semaan Al-Qur’an dan lainnya. Termasuk menampilkan seni islami atau shalawatan. Karena penyelenggaraan ini bersamaan dengan bulan Maulid,’’ pinta KH Masdain Rifai.

Dalam upacara kemarin, sebelum siraman dilakukan, beberapa pusaka termasuk  Gong Kiai Pradah diarak dari tempat penyimpanan yang berada disebelah barat, menuju panggung  ditengah alun-alun. Karena padatnya pengunjung, pasukan pengarak pusaka harus menerobos ribuan pengunjung  yang berebut ingin menyentuh pusaka Gong Kiai Pradah dan mendekat ke panggung utama.

Ketika gong sudah diatas panggung, Bupati Blitar, H Herry Noegroho dan anggota Forpinda, segera memulai siraman. Bupati dan mbah Soepalil, 88 tahun, juru kunci  secara bersama-sama dengan pejabat lainnya memandikan gong.

Begitu selesai mencuci, air yang dicampur dengan bunga, pengunjung yang ada disekitar panggung langsung meraansek untuk berebut air jamasan. Sebab, Bupati Herry Noegroho dan Wakil Bupati H Riyanto, bersama pejabat lainnya menyiramkan air sisa jamasan ke pengunjung dari atas panggung.

Usai prosesi siraman, bupati memukul gong sebanyak  tujuh kali, sambil diiringi ucapan doa agar masyarakat blitar mendapat keselamatan.

Setelah prosesi siraman, di pendapa alun-alun juga digelar  tari-tarian . Agenda tradisi leluhur ini diakhiri dengan doa bersama, yang dilanjutkan rebutan tumpeng lanang dan wadhon. Tak hanya itu, di pendapa juga ada puluhan tumpeng kecil yang juga menjadi rebutan pengunjung.

“Ini agenda rutin tahunan. Pemkab Blitar menyelenggarakan kegiatan ini untuk nguri-nguri  atau melestarikan budaya atau tradisi warisan leluhur,’’ ujar Bupati usai acara jamasan kepada NU Online.

Diceritakan Bupati, pada zaman dulu ada sebuah gong yang dibawa dari Jawa tengah dan saat ini di wilayah Lodoyo. Selain itu siraman pusaka ini juga merupakan daya tarik wisatawan , sehingga menjadi ikon pariwisata di kabupaten Blitar.

“Ke depan, kualitasnya akan terus kami tingkatkan, sehingga Indonesia tahu bahwa di kabupaten blitar ada tradisi yang menyedot perhatian ribuan warga. Mudah-mudahan bisa menjadi agenda nasional,’’ harapnya.

Sementara Kepala Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Disporbudpar) Kabupaten Blitar, Izul Marom, mengatakan agenda budaya siaraman Gong Kiai Pradah akan dikemas lebih inovatif tahun-tahun yang akan datang.

”Tahun depan akan kami kemas sedemikian rupa, sehingga lebih bisa menarik wisatawan baik local maupun manca negara,’’  katanya.

Kegiatan ini, lanjut Izul sejalan dengan visi misi pemkab Blitar dibidang pariwisata yaitu visit and Invest to Blitar. “ Agenda budaya ini diharapkan menjadi daya tarik sendiri bagi wisatawan dan investor untuk menanamkan modalnya di Kabupaten Blitar,’’ tandanya.




Redaktur    : A. Khoirul Anam
Kontributor: Imam Kusnin


Terkait