Jombang, NU Online
Kepolisian Resort (Polres) bersama Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kabupaten Jombang komitmen akan terus mewaspadai gejala intoleransi di Kota Santri, Jombang.
Kapolres Jombang AKBP Agung Marlianto mengungkapkan, keragaman di Indonesia ini sudah menjadi keniscayaan, namun di sisi lain keragaman itu belum diterima oleh masyarakat secara keseluruhan, sehingga sikap waspada terhadap adanya individu atau kelompok yang belum bisa menerima kondisi tersebut perlu dilakukan.
"Ini berpotensi menciptakan gangguan Kamtibmas,” ucapnya beberapa waktu lalu saat pagelaran pengajian dan istighostah bersama yang diselenggarakan Polres bersama GP Ansor Jombang di halaman Polres setempat.
Agung lantas menceritakan sikap bijak almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di masa hidupnya kepada salah seorang Banser yang masih ragu-ragu untuk menjaga keamanan saat salah satu gereja sedang ada kegiatan.
"Saat ada Banser yang masih ragu-ragu menjaga gereja bertanya kepada Gus Dur, kemudian Gus Dur menjawab tegas, jika masih ada sedikit keraguan dalam hatimu, berpikirlah bahwa yang kau jaga ini bukan gereja, melainkan Indonesia. Atau setidaknya berpikirlah, bahwa yang kamu jaga adalah kotamu. Yang kamu jaga adalah tanah kelahiranmu. Sebab setiap gangguan yang terjadi di tanah kelahiranmu, pasti akan berdampak kepadamu,” tuturnya menirukan jawaban Gus Dur.
Dijelaskan, sikap tersebut hendaknya bisa menjadi contoh konkret bagi setiap individu, kelompok atau organisasi kemasyarakatan (Ormas) khususnya di Jombang untuk saling menghargai perbedaan sebagai representasi dari keragaman yang niscaya itu.
Terpisah, Ketua PC GP Ansor Jombang H Zulfikar Damam Ikhwanto lebih jauh menjelaskan pemicu terhadap adanya sikap intoleransi oleh kelompok-kelompok tertentu. Menurutnya UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dalam kehidupan berbangsa, bernegara bahkan beragama dengan sengaja dirusak oleh kelompok-kelompok tertentu.
Kebebasan memeluk agama dan menjalankan agama serta keyakinan masing-masing sesuai dengan bunyi landasan konstitusional itu mulai dimainkan dengan dimunculkan isu-isu SARA.
"Mulai dimunculkan dan diprovokasi tentang kontroversi ucapan selamat hari besar agama, dimainkan soal isu penggunaan atribut budaya mengarah pada keyakinan agama tertentu, soal budaya nasional yang dianggap tidak sesuai ajaran agama dan lain-lain," katanya kepada NU Online, Kamis (19/1/).
Akibatnya, lanjut pria yang kerab disapa Gus Antok itu kesemuanya itu saat ini menjadi bahan memicu perpecahan di tengah masyarakat.
"Seolah semua berhak menilai dirinya yang paling benar, sedangkan orang lain yang berbeda dengan dirinya dinilai salah. Saling tuduh, saling benci, saling fitnah, saling berprasangka buruk, saling menjatuhkan, saling menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan," ujarnya.
"Saya pikir semua ini harus diakhiri, tidak boleh ada lagi perpecahan, konflik atau fanatisme yang membabi buta. Apalagi soal SARA. Mari kembali pada landasan ideal Pancasila, Landasan Konstitusional UUD 1945, Kehidupan yang Bhineka Tunggal Ika dan menjaga NKRI ini tetap berdaulat," pungkasnya. (Syamsul Arifin/Fathoni)