Daerah

Santri Harus Memiliki Karakter Ini

Sabtu, 29 September 2018 | 21:00 WIB

Serang, NU Online 
Menyambut hari santri pada tanggal 22 Oktober mendatang, Laskar Santri Millenial Banten mengadakan  kegiatan sharing bersama di Perangko Cafe, Serang, Banten (28/9). Acara yang bertajuk Refleksi Jelang Hari Santri: Doa untuk Indonesia Terus Maju ini dihadiri oleh beberapa kalangan santri serta akademisi dari wilayah Banten. 

Dalam kegiatan tersebut Sam’ani menyatakan bahwa santri adalah suatu predikat, bukan status. “Karena sebagai predikat, maka ada beban moral yang ditanggung olehnya,” kata Sam’ani yang saat ini merupakan anggota Bawaslu Banten.  

Bisa jadi, lanjutnya, seorang santri yang bertahun-tahun nyantri, namun setelah lulus tidak lagi dapat disebut santri, sebab kelakuannya yang tak lagi mencerminkan seorang santri. 

Ia juga menuturkan beberapa kreteria agar seseorang tetap disebut sebagai santri. Kreteria tersebut ia jabarkan dari akronim kata santri. 

Pertama, shalat; ciri seorang santri itu dinilai dari seberapa patuh ia menjalankan solat. Ia tidak hanya menganggap solat sebagai kewajiban, tetapi menjadi suatu kebutuhan. 

Kedua, akhlakul karimah; di pesantren telah di ajarkan bagaimana seorang santri bersikap kepada gurunya, yang kemudian menjadi kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan. 

“Dulu kita memang tidak terlalu paham, kenapa ketika Kiai akan lewat, semua santri harus membuka barisan seperti prajurit membukakan jalan bagi seorang panglima, namun hal itu merupakan memori yang luar biasa yang mana kita dapat ambil pelajaran bagaimana sikap seseorang terhadap gurunya,” papar alumni santri An-Nuqayah Madura itu. 

Ketiga, ngaji. Ia melanjutkan bahwa seorang santri minimal dalam seumur hidupnya pernah mengkhatamkan Al-Qur’an. Kalau seumur hidupnya tidak pernah khatam, maka perlu dipertanyakan ke-santriannya. 

Keempat, transformatif. Hal ini merupakan salah satu ciri santri, di mana keberadaannya menjadi pendorong yang mengarah pada perubahan. Cara ini dapat berupa menjadi role mode di tengah-tengah masyrakat. 

“Menyongsong hari santri nasional, yang di dalamnya mengenang peristiwa heroik di mana santri berkontribusi dalam mempertahankan kesatuan Republik Indonesia, maka kekuatan transformatif inilah yang harus dimiliki seorang santri, minimal dia harus mampu membawa dirinya pada arah yang lebih baik,” jelasnya. 

Kelima, reflektif. Santri tidak melulu larut dalam aktifitas duniawi, adakalanya ia melakukan refleksi dengan menyisishkan waktunya untuk bermuhasabah terhadap dirinya. 

“Bahkan ketika tak lagi tinggal di pesantren dia tetap mempraktikkan nilai-nilai yang didapat dari pesantren,” lanjutnya. Yang terakhir menutup penjelasannya, yang terpenting adalah istiqamah. 

Menyambung pada tema sharing tersebut, Sam’ani mengingatkan, bahwa tantangan santri saat ini adalah bagaimana ia dapat melakukan akselerasi sesuai konteks zamannya agar keberadaannya tetap diterima.

Sama seperti Sam’ani, Ahmad Yuri Alam Fathallah selaku pengasuh Pesantren Nur El Falah juga mengingatkan agar santri millenial itu memahami kondisi saat ini. 

“Pada jaman dulu, yang dihadapi seorang santri adalah para kolonial, mereka disibukkan dengan hal-hal yang berbau peperangan untuk melindungi pesantren dan wilayahnya, sekarang pun juga begitu, mereka juga harus berperang,” katanya.

Peperangan tersebut, tambahnya, adalah menghadapi bangsa sendiri, bahkan teman bangku sendiri. Dalam konteks ini, ia menjelaskan bahwa perang yang dilakukan adalah menghadapi kelompok-kelompok radikal, yang mana sama-sama mengatasnamakan Islam untuk berperang. (Nuri Farikhatin/Abdullah Alawi)


Terkait