Daerah

TGH Karim Ajak Santri Teladani Bangsa Jepang

Jumat, 1 April 2016 | 20:18 WIB

Lombok Utara, NU Online
Ketika memasuki halaman Pesantren Nurul Bayan Kabupaten Lombok Utara (KLU), kita akan dikejutkan sebuah tulisan berbahasa Jepang, “Arigatoo Gozaimasu.” Kata-kata yang tertulis di dinding sebuah bangunan mirip posko ini rupanya menyimpan kenangan TGH Abdul Karim Ghafur, sang pemimpin pesantren. Bagaimana Kiai Karim memaknai ungkapan tersebut?   

Tentang tulisan arigatoo gozaimasu yang ditulis besar di posko yang berdiri tegak di pinggir lapangan pesantren, Kiai Karim memiliki alasan tersendiri. Pertama, bangsa kita harus mengambil semangat Jepang. Bangsa Jepang merupakan tipikal orang yang cepat dan pandai berterima kasih. Dalam setiap kesempatan, mereka sering bilang, gozaimas ta, kepada orang lain.

“Nah, yang bisa diteladani dari sini, para guru dan santri agar saling berterima kasih satu sama lain. Santri kepada kiai, kiai kepada santri. santri kepada pondok, pondok kepada santri. Pondok kepada masyarakat dan sebaliknya. Semua orang harus belajar berterima kasih kepada sesama,” ujar Kiai Karim kepada NU Online yang didampingi utusan Kanwil Kemenag NTB dan Kemenag KLU, Rabu (30/3) siang.

Kedua, lanjut Kiai Karim, semangat sosiologis masyarakat Jepang. Mereka adalah sosok pekerja, ulet, tangguh, tahan banting, tidak mudah mengeluh, termasuk soal kemandirian. Orang Jepang itu jarang yang jadi pengemis. Di jalan-jalan Tokyo hampir tidak ada pengemis. Selain itu, mereka juga orang yang hemat.

“Mereka juga sadar kebersihan lingkungan. Itu semuanya ada pada masyarakat Jepang. Banyak sekali. Jadi, semangat Jepang ini harus kita ambil. Yang nggak boleh diambil dari sana itu hidup tanpa agama,” tuturnya.

Selain banyak membaca literatur tentang Jepang, Kiai Karim ternyata pernah berkunjung selama 12 hari ke Negeri Sakura ini. Bersama para pemimpin pesantren dari berbagai daerah di Indonesia, Kiai Karim memenuhi undangan kerjasama antara Kemenlu Jepang dengan Islamic Culture yang dikelola UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

“Jadi, setiap tahun Jepang memilih 12 pesantren se-Indonesia untuk melihat suasana negaranya. Tiga tahun silam, tepatnya pada 2013, Nurul Bayan terpilih mewakili NTB. Nah, pulang dari sana saya bikin bangunan di tengah itu lalu saya tulis arigato gozaimasu,” ungkapnya.

Budaya yang Islami
Menurut Kiai Karim, ada satu pengalaman menarik saat naik bus bersama orang Jepang. “Kalau di bus, di sana nggak ada kernet. Kalau sopir mau naik, dia tidak akan naik sebelum penumpang naik semua. Jadi, semua penumpang dipersilakan naik dulu. Sopir itu lalu berdiri persis di samping pintu, saat penumpang satu persatu naik, dia membungkuk memberi hormat. Orang perorang ia hormati,” kenangnya.

Begitu sudah naik semua, lanjut Kiai Karim, sopir tadi memastikan para penumpang tidak ada yang tertinggal, sebelum menyetir dia menghadap lagi kepada penumpang sembari membungkukkan badan. “Dia bilang, oke siap, baru dia mulai menyetir,” tutur pria lulusan Universitas Baghdad ini.

Sesampainya di tempat tujuan, maka sang sopir menjadi orang yang pertama kali turun dan berdiri lagi di samping pintu di luar sembari mengatakan “gozaimasu ta.. gozaimasu ta..” (Terima kasih, Anda sudah bersama kami). “Ini menarik sekali. Penghormatan kepada penumpang atau tamu sungguh luar biasa. Benar-benar islami budaya mereka,” ujar Kiai Karim bangga.

Alumnus Pesantren Gontor ini menambahkan, yang menarik lagi ketika bus tersebut satu jam kemudian datang di hotel. Sang sopir memanggil kami. “Mohon turun sebentar, tolong dicek di bangku paling belakang bus ini,” ujar Karim menirukan sopir.

Rupanya, ada satu ponsel tertinggal di jok tersebut. Jadi, sopir Jepang ini ketika barang tertinggal di kendaraan yang dikemudikannya, dan baru ketahuan setelah sampai di markasnya, ia langsung kembali ke lokasi di mana para penumpang turun.

“Ketika ada barang tertinggal, dia merasa nggak boleh pegang. Nggak boleh pindah posisinya. Maka, dia pun harus anter lagi ke hotel. Coba bayangkan. Betapa keamanan di Jepang itu sungguh luar biasa. Dan ini akhlak islami sekali,” tegasnya.

Satu hal yang tak mudah ia lupakan, saat rombongan sampai di bandara Tokyo. Salah satu dari pimpinan pesantren ada yang merokok. Lalu didekati pemandu yang pandai Bahasa Indonesia. “Maaf, Pak. Ini Jepang. Bukan Indonesia. Anda lihat di sini ada CCTV. Nanti Anda bisa kena denda. Jadi, kita nggak bisa nggak disiplin setelah berkunjung dari sana,” tuturnya.

Kiai Karim sangat terpesona akan kebersihan bangsa Jepang. Itu pula yang ia teladankan kepada para santrinya. Sejak sebelum subuh, para santrinya sudah bangun lalu merapikan kamarnya masing-masing. “Semua punya jadwal ngepel dan nyapu halaman. Kami sangat tegas dalam urusan kebersihan. Kami ingin kesan pesantren yang kumuh tak lagi terbukti,” pungkasnya. (Musthofa Asrori/Zunus)  


Terkait