Abdul Wachid B.S.
Kolomnis
Saya adalah penonton yang tumbuh bersama film Indonesia—dari layar tancap di lapangan desa hingga layar digital di gawai hari ini. Bagi saya, film bukan hanya hiburan, melainkan jendela untuk menonton kembali siapa kita, dan ke mana arah bangsa ini hendak melangkah.
Dalam dua dekade terakhir, saya menyaksikan perkembangan perfilman Indonesia yang amat dinamis. Dulu, film kita pernah dicibir sebagai hiburan murahan, penuh adegan seksual dan kekerasan, dan miskin naskah. Tapi kini, film Indonesia telah banyak berubah. Dari Laskar Pelangi, Ada Apa Dengan Cinta, hingga Kucumbu Tubuh Indahku dan Yuni, film kita bukan lagi semata produk hiburan, tetapi juga wahana perenungan sosial.
Sebagai penonton biasa, saya ingin berbagi kesan personal—tentu saja subjektif—tentang wajah perfilman Indonesia hari ini.
Film sebagai Cermin Sosial
Salah satu hal yang paling saya sukai dari film Indonesia masa kini adalah keberaniannya menampilkan realitas sosial secara jujur. Film seperti Dua Garis Biru, Like & Share, Before, Now & Then, atau 24 Jam Bersama Gaspar tidak hanya menghibur, tetapi menyentuh persoalan yang akrab dalam kehidupan kita: kekerasan seksual, kesenjangan kelas, trauma sejarah, hingga absurditas hidup urban.
Film-film ini mengajak penonton seperti saya untuk merenung, tidak hanya tertawa atau menangis. Saya merasa dihargai sebagai penonton—bukan dicekoki formula lama sinetron atau cinta-cintaan klise yang mudah ditebak.
Sebagaimana dikatakan oleh Edgar Morin (The Cinema, or the Imaginary Man. Minneapolis: University of Minnesota Press, 2005), film bukan hanya bayangan realitas, tetapi juga penggali kesadaran kolektif. Ketika saya menonton cerita tentang desa tertinggal, anak-anak yang putus sekolah, atau perempuan yang dibungkam sistem patriarki, saya merasa: ini bukan fiksi semata. Ini adalah Indonesia yang saya kenal.
Estetika yang Semakin Kaya
Saya juga melihat perkembangan gaya bertutur dan visual film Indonesia semakin kaya. Jika dulu kita banyak bergantung pada dialog dan narasi linier, sekarang sineas muda berani bereksperimen dengan metafora visual, montase, bahkan keheningan.
Film seperti The Seen and Unseen (Kamila Andini) atau Autobiography (Makbul Mubarak) memperlihatkan bahwa bahasa sinema kita tak kalah matang dibanding film dari luar negeri. Saya mungkin tidak bisa menjelaskan secara teknis—apa itu mise en scène atau tone colour—tetapi sebagai penonton biasa, saya bisa merasakan: ini film yang “berjiwa”.
Namun saya juga tidak menutup mata bahwa masih banyak film yang diproduksi secara tergesa, miskin ide, dan hanya mengejar viralitas. Film horor dengan jubah putih, musik mengejutkan, dan plot seragam terus diputar ulang. Beberapa film religi pun terasa lebih sebagai proyek pasar ketimbang ruang kontemplasi spiritual.
Representasi dan Tantangan Komersialisasi
Ada kegelisahan yang mengganjal: representasi. Walau perfilman kita makin inklusif, tetap saja saya menemukan stereotip lama: orang desa digambarkan bodoh, minoritas seksual hanya sebagai sosok eksentrik, tokoh agama tampil sebagai fanatik. Film punya tanggung jawab moral, bukan sekadar artistik.
Saya tidak menuntut film menjadi khutbah. Tapi saya percaya sineas punya tanggung jawab untuk tidak melanggengkan stigma. Kita bisa menghadirkan cerita kompleks tanpa jatuh ke simplifikasi.
Masalah lain adalah komersialisasi. Film yang “laku” di bioskop sering dijadikan tolok ukur keberhasilan, padahal banyak film berkualitas hanya bertahan sebentar karena tak kuat bersaing dengan film franchise yang lebih menjanjikan laba. Ini menyedihkan.
Kebangkitan Film Daerah: Jalan Sunyi dari Pinggiran
Selama bertahun-tahun, wajah Indonesia di layar lebar lebih sering tampil dari balik gedung tinggi dan kehidupan urban. Padahal, mayoritas warga Indonesia tinggal jauh dari pusat. Kini, kebangkitan film daerah—oleh pelajar, komunitas kampung, dan inisiatif lokal—telah menggeser pusat narasi: dari kota ke desa, dari elite ke rakyat biasa.
Festival Film Pelajar Purbalingga adalah contoh inspiratif. Selama 19 tahun bertahan, festival ini bukan hanya wadah kompetisi, tetapi ruang belajar kolektif. Anak-anak muda desa belajar menulis naskah dari cerita tetangga, memvisualisasikan keresahan lokal dengan bahasa mereka sendiri, dan merekam suara-suara yang tak terdengar di bioskop besar.
Yang lebih penting: proses kreatif mereka melibatkan ekosistem—guru, orang tua, kepala desa, warung kopi. Film daerah bukan sekadar karya budaya, melainkan gerakan sosial yang membangun ruang baru bagi ekspresi dan kesadaran.
Baca Juga
Ikranegara: Ada Ruh di Film Sang Kiai
Distribusinya pun unik: bukan bioskop, tetapi balai desa, sekolah, atau keliling kampung. Tak ada tiket mahal, tak perlu pendingin udara. Yang dibutuhkan hanya duduk dan mendengarkan cerita mereka sendiri—seperti dongeng masa kecil di beranda rumah.
Dalam konteks keindonesiaan, menggali kearifan lokal menjadi penting karena di situlah akar kita berpijak. Indonesia bukan sekadar Jakarta atau Bandung, tetapi juga Banjarnegara, Purbalingga, Lumajang, dan Wajo. Film daerah membantu kita mendengarkan suara-suara yang selama ini terpinggirkan, dan itu bagian dari merawat keutuhan identitas nasional.
Harapan Penonton
Sebagai penonton biasa, saya punya harapan sederhana: agar film Indonesia terus bertumbuh tanpa kehilangan kejujuran. Saya ingin film Indonesia tidak hanya berani, tetapi juga berempati. Tidak hanya estetis, tetapi juga etis.
Saya ingin lebih banyak film yang tidak hanya menjual bintang, tetapi juga menjual gagasan. Film yang tidak sekadar mengisi waktu, tetapi menambah makna. Film yang mengajarkan saya memahami orang lain, termasuk yang berbeda agama, kelas, atau pengalaman hidup.
Saya percaya, seperti kata Arifin C. Noer, “Film yang baik adalah film yang membuat penontonnya keluar dari bioskop dengan hati yang lebih lapang dan pikiran yang lebih luas.” (Film Indonesia: Eksistensi dan Perjuangan, Ed. Seno Gumira Ajidarma. Jakarta: DKJ, 1990).
Dan sebagai penonton biasa, saya akan terus menonton, menyimak, dan mencatat. Karena dari layar lebar itu, saya belajar melihat Indonesia—dalam segala keindahan dan luka-lukanya.
Abdul Wachid B.S, seorang penyair, dan Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Inilah Obat bagi Jiwa yang Hampa dan Kering
2
Khutbah Jumat: Bahaya Tamak dan Keutamaan Mensyukuri Nikmat
3
Kontroversi MAN 1 Tegal: Keluarkan Siswi Juara Renang dari Sekolah
4
Kader PMII Dipiting saat Kunjungan Gibran di Blitar, Beda Sikap ketika Masih Jadi Wali Kota
5
Pihak MAN 1 Tegal Bantah Keluarkan Siswi Berprestasi Gara-gara Baju Renang
6
Kronologi Siswi MAN 1 Tegal Dikeluarkan Pihak Sekolah
Terkini
Lihat Semua