Ziarah kubur bukan hanya sebuah ibadah yang di dalamnya melakukan doa-doa, istighotsah dan tawasul yang dimunajatkan kepada Allah SWT. Namun ziarah kubur juga mampu menjadi media napak tilas sejarah serta menumbuhkan nasionalisme untuk selalu mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia sepenuhnya.
Demikian ungkap Wakil Ketua PWNU Lampung Alamsyah saat melakukan ziarah ke makam para ulama dan umara di tanah kelahirannya Banjarmasin, Kalimantan Selatan setelah keikutsertaannya pada Ijtima Ulama MUI di provinsi tersebut.
Ia menjelaskan bahwa banyak ulama daerah tersebut yang patut diteladani sikap nasionalismenya. Dengan berziarah ke makam para ulama tersebut tentunya akan teringat sejarah perjuangannya yang akan menambah kecintaan para generasi penerus terhadap negara ini.
"Banyak di antaranya makam Syekh Muhammad Arsyad al Banjari di Martapura, ulama besar nusantara abad 18 M yang menyebarkan Islam dan pembangun sistem hukum di Kerajaan Banjar dan pulau Kalimantan. Makam Khatib Dayan ulama yang diutus Kerajaan Demak untuk mengislamkan raja-raja Banjar dan makam Sultan Suriyansyah sendiri sebagai raja pertama Kerajaan Banjar yang menganut Islam," terangnya.
Menurut Dekan Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung ini, para ulama agung Kalimantan inilah yang telah menurunkan ulama dan auliya besar lainnya yang dikagumi dan disegani hingga sekarang seperti almarhum KH A Zaini Helmi dan KH Zaini A Ghani (Guru Sekumpul). Termasuk lanjutnya, KH Idham Kholid yang pernah menjadi ketua MPRS dan memimpin PBNU sebagai ketua umum termuda dan terlama sejak 1952-1984.
"Raja-raja Banjar yang makamnya dikunjungi adalah penganut Islam yang taat dan melaksanakan syariat Islam sesuai dengan adat dan kearifan lokal masyarakat Banjar dan suku Dayak yang mendukungnya," ujarnya kepada NU Online melalui pesan tertulis, Jumat (11/5)
Berbagai aturan hukum Islam sebagaimana dalam Al Qur'an dan Sunah Nabi dan yang ditulis ulama Timur Tengah dalam berbagai kitab klasik terus diterapkan namun tidak serta merta diterapkan secara harfiyah dalam sistem pemerintahan dan masyarakat Banjar saat itu.
"Penerapan prinsip dan nilai Islam terus dilakukan namun dengan penyesuaian dan pengembangan sejalan dengan kesiapan budaya dan sistem sosial yang hidup, seperti sistem waris dalam hukum keluarga. Inilah Islam Nusantara, Islam yang sudah ratusan tahun hidup damai, santun dan toleran berdampingan dengan keanekaragaman bangsa Indonesia," terangnya.
Raja-raja Banjar, para ulama dan para pangerannya dengan tokoh seperti Pangeran Antasari dan Tumengung Surapati sangat anti kolonialisme. Perlawanan pun dikobarkan untuk melawan penjajahan asing yang kejam. Perang Banjar yang berjalan puluhan tahun didukung kerajaan dan semua elemen rakyat yang beragam, baik ulama, tokoh adat, Banjar, Dayak, dan sebagainya.
" Inilah perjuangan kemerdekaan sampai titik darah penghabisan, yang terkenal dengan semboyan Waja Sampai ka Puting (tetap bersemangat dan kuat bagaikan baja dari awal sampai akhir). Inilah Islam Banjar yang santun dan halus namun kental dengan kesetiaan pada tanah air dan bangsa," pungkasnya. (Red: Muhammad Faizin)