Fragmen

NU di Tengah Politik Masyumi

Rabu, 16 Juni 2004 | 00:03 WIB

Walaupun NU mendapat kedudukan Istimewa di partai Masyumi sebagai Dewan Syura, karena mempunyai pendukung terbanyak dalam partai Islam itu, tetapi sejak Kongres partai 1949, posisi NU banyak dipangkas. Dewan Syura yang diketuai Kiai Wahab Hasbullah tidak lagi memiliki kewenangan pengambilan keputusan, tetapi hanya sebagai dewan penasehat. Masyumi telah menjadi oligarki, hanya dikuasai oleh sekelompok orang yang menamakan diri sebagai kelompok intelektual dan professional yang sebenarnya adalah kelompok Islam modernis.

Demikian juga dalam pembagian kekuasaan semua jatah kabinet diambil secara keseluruhan oleh kelompok modernis. Kelompok NU hanya dijadikan mesin pengumpul suara, tetapi tidak diberi suara apalagi jabatan. Hal itu yang membuat Masyumi mengalami krisis dan konflik intern. Bahkan akhirnya akses NU ke partai benar-benar disumbat, contohnya  Kiai Wahab berusaha ingin memberi masukan tetapi ditolak, karena ia bukan anggota DPP, urusan politik yang menjadi wewenang ketua partai, dewan syura hanya boleh mengurusi fatwa agama.

<>

Persoalan pembagian kekuasaan menjadi sangat krusial pada pembentukan Kabinet 1952 Masyumi mendapatkan jatah lima kementerian, biasanya NU mendapat jatah satu yaitu menteri agama, tetapi kali ini kelimanya diambil semua oleh orang Muhammadiyah. Berbagai upaya mengebirian dan peminggiran semacam itu yang menjadikan NU keluar dari Masyumi, karena terus menerus dimanipulasi sehingga tokoh NU yang paling lembek seperti Idham cholid pun bisa mengeluh masak mendapat jatah lima kursi, tetapi kelima-limanya diembat, padahal NU merupakan elemen masyumi terbesar dibanding Muhammadiyah, kalau begini mana keadilan, mana kejujuran.

NU masuk Masyumi semata karena ingin menjaga ukhuwah dan persatuan Islam, tetapi Masyumi hanya ingin mengeruk suara NU dengan dalih tidak kapabel tidak ahli dan sebagainya. Karenan ukhuwah sudah tidak ada maka NU terpakasa mendirikan partai sendiri pada tahun itu juga. Tindakan ini membuat Masyumi keder, karena itu NU dicaci karena dianggap anti ukhuwah Islamiyah, dan dituduh haus kekuasaan. Lalu dijawab oleh Kiai wahab “lho Masyumi ini partai politik Bung, karena itu sudah semestinya menjadi ajang  perebutan dan pembagian kekuasaan “.

Dan terbukti setelah NU ikut pemilu mendapatkan suara yang luar biasa besar NU tidak hanya menunggu jatah, tetapi bias menciptakan peluang sendiri baik di parlemen maupun kabinet. Semua itu berkat kegigihan dan kecerdikan Kiai Wahab Hasbullah, yang berpolitik bukan untuk mencari posisi bagi dirinya sendiri, tetapi demi emansipasi kaum santri. (MDZ)

***


Terkait