Fragmen

Rekrutmen kader NU

Kamis, 19 Februari 2004 | 12:11 WIB

 

Ketika hendak menjadikan NU sebagai partai tersendiri di luar Masyumi, banyak orang yang mengejek bahwa NU tidak cukup punya kader professional, maka dengan enteng Kiai Wahab menjawab bahwa NU akan melakukan out sourcing, merekrut kader manapun yang memiliki komitmen keindonesiaan. Hal itu bukan karena NU kekuarangan sumber daya manusia tetapi juga didasari atas prinsip pluralisme, maka siapa saja yang bisa diajak membangun negeri ini dengan visi NU maka diajaklah mereka bergabung ke NU, tanpa memandang latar belakang, etnis dan ideologinya. Berikut ini penuturan A. Moestahal.

Belakangan terbukti NU merekrut beberapa tokoh luar antara lain  Edy Tan E Hong adalah orang Tionghoa yang masuk NU bersama-sama dengan Moh Hassan, wartawan Suluh Indonesia. Sebelum masuk NU, Edy ini pernah dicalonkan golongan minoritas oleh PNI dan ia berhasil duduk di parlemen. Saat di parlemen ia menjalin persahabatan dengan Soemitro, sehingga ada yang menilai ia termasuk orang yang dekat PSI. Tapi kemudian entah kenapa, ia mulai tidak dipercayai oleh PSI, disamping karena PSI sendiri semakin tegang dengan pemerintah Soekarno, sementara ia sendiri tergolong pengagum Presiden pertama itu.

<>

Sebagai pengusaha dan politisi, setelah jauh dari PSI, ia mulai mendekati partai yang ikut memerintah antara lain NU. Edy ‘menyeberang’ ke NU itu mungkin bisa saja agar ia bisa mendapat fasilitas. Tapi apapun tujuannya ia memang akhirnya masuk NU. Ia kemudian dekat dengan tokoh-tokoh NU satau tokoh-tokoh yang bersimpati dengan NU, seperti Rahmat Mulyo Amiseno dan Prof Gunarjo. Waktu itu Edy memang dekat juga dengan kedua tokoh yang disebut terakhir ini. Kebetulan menjabat selama dua kabinet berturut-turut, Rahmat Mulyo Amiseno dan Prof Gunarjo (Guru Besar Fakultas Ekonomi/Geografi UGM) adalah pejabat menteri Perdagangan yang simpati kepada NU.

Edy sempat bersahabat akrab dengan saya, karena ia pernah minta bantuan kepada saya berkaitan dengan masalahnya. Waktu itu bersama dengan KH Masykur dari NU, ia pernah akan ditangkap penguasa perang di Bandung berkaitan dengan isu korupsi. Pada saat A. Mustahal bertugas di staf Biro Khusus di Kementrian Juanda itu sudah bermukin di Singapura. Jadi, singkat cerita, ketika ke Singapura Mustahal sering mampir ke tempatnya.

            Edy pernah mengajak Mustahal  bersilaturrahmi atau bertemu dengan Margono Djoyohadikusumo, ayah Soemitro Djoyohadikusumo. Mustahal juga bertemu mantan Menteri Urusan Peranakan zaman Syahrir: Tan Po Gwan. Kebetulan saja saat Mustahal mau pulang ia menitip surat untuk Oei Tjoe Tat, seorang tokoh BAPERKI. Dan karena itu amanat, maka titipan surat itu disampaikan oleh Mustahal. Entah karena titipan surat itu atau hubungan Mustahal secara manusiawi saja dengan Edy Tan E Hong, atau karena Mustahal bertemu dengan ayah Soemitro itu, ada seorang intel yakni Magenda aspri Sukendro yang melaporkan bahwa Mustahal berhubungan dewngan orang PRRI-Permesta. Memang pada waktu kunjungan itu, Mustahal juga sekalian menjajagi kemungkinan  rekonsiliasi agar PRRI segera kembali ke Ibu Pertiwi. Ini pernah Mustahal sampaikan ke Juanda, juga Idham Chalid bahwa bagaimana jika dijajagi semacam islah. Tapi bagi mereka yang ekstrim anti pemberontakan daerah, menganggap miisi  Mustahal itu sebagai pengkhianatan terhadap  misi bung Karno.

            Padahal sesungguhnya Mustahal hanya berpandangan jika PRRI-Permesta itu dihancurkan, itu akan memakan korban yang cukup banyak. Karena itu jalan untuk rekonsiliasi harus bisa diciptakan. Apalagi belakangan diketahui bahwa PRRI juga memiliki senjata yang cukup canggih dan bahwa dibelakangi PRRI adalah CIA. yaitu dari indikasi dengan ditemukannya Allan Pope, pilot yang ngebom Maluku tapi kemudian jatuh tertembak dan bisa kita tawan. Di mana ia nantinya dibebaskan berkat jasa adiknya John F Kennedy yang bernegosiasi dengan kita.

Bukti keterlibatan CIA dalam pemberontakan PR


Terkait