Suatu ketika Kamiluddin, pria paruh baya dari Sumenep ingin mengunjungi saudaranya di Jakarta. Ia memilih naik pesawat terbang agar cepat sampai. Lagipula, moda transportasi ini belum pernah dicobanya. Ini merupakan pengalaman pertama Kamiluddin naik pesawat.
Ia mempersiapkan segala sesuatunya, terutama tiket. Ia agak terburu-buru karena harus check-in 30 menit yang seharusnya 60 menit sebelum penerbangan.
Dengan langkah tergopoh-gopoh akhirnya dia bisa masuk ke pesawat juga. Tidak memperhatikan nomor seat di boarding pass, Kamiluddin serta merta langsung duduk di bagian depan. Padahal, kursinya di bagian belakang.
Sedang asyik bersantai setelah merapikan tas di bagasi kabin, Kamiluddin tiba-tiba didatangi oleh seorang perempuan muda.
“Maaf pak, kursi yang bapak duduki itu kursi saya,” kata si perempuan.
“Eh mbak, jangan sembarangan, ini kursi milik perusahaan pesawat, kursi sampean di rumah,” jawab Kamiluddin dengan logat khas Maduranya.
Melihat keributan itu, seorang pramugari mendatangi Kamiluddin dan si perempuan. Pramugari langsung melihat tiket masing-masing. Kemudian berkata, “Maaf pak, ini tempat duduk ibu, kursi bapak di bagian belakang,” ucap pramugari.
“Eh mbak, sampean ini siapa? Kursi saya di rumah, bukan di belakang. Ini kursi pesawat tempat duduk semua penumpang,” Kamiluddin tetap teguh dengan pendiriannya.
Keributan itu menyita semua mata penumpang, tak terkecuali pria asal Surabaya bernama Fauzan yang sedikit banyak memahami karakter orang Madura.
“Maaf, bapak tujuannya ke mana?” tanya Fauzan.
“Saya mau ke Jakarta,” jawab Kamiluddin dingin.
“Kursi tempat duduk bapak bukan untuk penumpang tujuan Jakarta, nanti bapak bisa nyasar loh. Tujuan Jakarta tempat duduknya di belakang,” terang Fauzan.
Tanpa basa-basi, akhirnya Kamiluddin langsung mlipir ke kursi bagian belakang dipandu oleh pramugari agar sesuai dengan nomor seat. (Fathoni)