Seketika itu, Kiai Dayat kongkow bareng para pemuda di desanya. Mereka ngeriung di pondok di pinggir jalan yang menjadi semacam balai pertemuan santai warga.
Dalam forum kecil yang diikuti oleh para pemuda desa tersebut, sang kiai mengutarakan sejumlah unek-uneknya. Di antaranya perihal pemakaman jenazah.
Kiai menegur para pemuda yang memperlakukan jenazah secara diskriminatif. Kalau si miskin yang meninggal, para pemuda mengubur secara asal-asalan.
Tetapi kalau si kaya, mereka bersemangat. Tanah diinjak-injak hingga padat. Hal itu menjadi perhatian tersendiri Kiai Dayat yang setiap ada warga meninggal berperan membimbing doa hingga jenazah dimakamkan.
“Apa upahnya lebih besar?” tanya Kiai Dayat kepada para pemuda.
Sontak pertanyaan sang kiai membuat para pemuda terperanjat. Mereka merasa perlu mengonfirmasi kejelasan pertanyaan kiainya itu.
“Tidak kiai, kami menginjak-injaknya bukan karena upah,” seloroh salah satu pemuda bernama Didin.
“Lalu karena apa?” ujar Kiai Dayat menyambung pertanyaan.
“Karena balas dendam. Saat hidupnya, dia menginjak-injak hidup dan harga diri kami,” jawab para pemuda. Kiai Dayat hanya melongo. (Fathoni)