Madinah, NU Online
Beberapa hari berada di kota Madinah dan Makah, membuat saya bertanya-tanya: apakah dua kota suci itu ramah dengan keberadaan difabel?
Seperti kita tahu, difabel adalah mereka yang memiliki fisik atau mental yang berbeda dari orang pada umumnya. Mereka yang buta, lumpuh, cacat lainnya yang membuat mereka tidak dapat berbuat sama dengan orang normal. Meski berbeda dengan difabel, orang yang lanjut usia diberikan kemudahan fasilitas karena memiliki keterbatasan.
Soal difabel ini saya menemukan pemandangan yang menarik. Pertama, di masjid Nabawi maupun Masjid al Haram, kedua tempat itu menyediakan kursi-kursi pendek yang jumlahnya sangat banyak. Artinya, orang yang shalat diberi fasilitas kursi-kursi tersebut, terutama bagi orang lanjut usia dan difabel. Kursi-kursi itu umumnya wakaf dari berbagai pihak.
Berikutnya, ketika orang masuk Raudlah di Masjid Nabawi, kita banyak mendapati orang berkursi roda yang mendapat fasilitas istimewa, yaitu masuk tanpa penghalang. Sehingga, mereka tanpa usah berdesak-desakan, bisa mencapai Raudlah dan makam Rasulullah. Berbeda dengan orang normal yang harus antre dan rela berdesak-desakan, kadang sampai berjam-jam untuk sampai di Raudlah.
(Baca: Menikmati Takjil di Masjid Nabawi Madinah)
Ketiga, di fasilitas publik seperti toilet masjid, banyak gambar untuk memprioritaskan layanan kepada orang difabel dan lanjut usia. Mereka juga tidak kesulitan masuk ke toilet serta bisa buang air besar dengan nyaman. Meski toilet di Makah kadang masih terlihat beberapa kamar yang kurang terjaga kebersihannya.
Keempat, ada fasilitas khusus di lokasi sai dan tawaf untuk para lanjut usia dan difabel yang menggunakan kursi. Di sai, di jalur tengah antar kanan kiri, adalah lajur orang difabel dan lanjut usia. Bahkan, di lantai empat tempat sai, disediakan mobil kecil untuk melakukan sai. Itu semua dilakukan dalam rangka memudahkan dan memanjakan lanjut usia dan difabel.
Para pendorong kursi roda untuk umrah di Makah bahkan lebih 'gila' lagi. Seperti dikatakan Nasrul, teman saya dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Nasrul sudah agak lama tinggal di Makah. Dia bilang mendorong kursi para jamaah umrah dimulai dari hotel dan diantar ke hotel lagi. Nasrul biasa mendorong hingga tiga kali dalam sehari. Waktu yang digunakan umumnya dua hingga tiga jam dihitung sejak selesi miqat hingga kembali ke hotel.
(Baca: Kiai Said Ajak Masyarakat Berdayakan Difabel)
Biaya untuk pendorong kursi seperti Nasrul sekitar 300 riyal. Meski terlihat agak mahal, namun pelayanan yang diberikan pendorong kursi asal Indonesia menjadi niai tambah. Sementara pendorong kursi dari luar Indonesia, lebih murah tapi sering kali kurang ramah dan tidak familiar. Bagi Nasrul dan para pendorong kursi lainya, menjadi pendorong kursi jamaah umrah membawa kebahagiaan tersendiri.
Apa yang dilakukan Khadimul Haromain, Raja Salman, adalah melayani tamu dengan sebaik-baiknya termasuk tamu yang difabel dan lanjut usia. Bahkan, mereka mendapat prioritas yang khusus. Apalagi, dalam Islam sendiri, orang difabel dan orang lanjut usia yang lemah diberikan rukhsah, keringanan dalam menjalankan syariat dalam batas-batas yang dimampuinya.
(Baca: Pemberdayaan Difabel Realisasi Hasil Munas NU 2017)
Sungguh, saya sangat terkesan dengan kota Makah dan Madinah yang sangat ramah pada orang lanjut usia dan difabel. Makanya, tidak boleh ada kerisauan dan kegalauan misalnya karena difabel tidak bisa haji dan umrah.
Bagi saya sendiri, umrah di bulan Ramadhan ini memberi kesan mendalam. Membuat saya ingin kembali bisa umrah lagi.
(KH MN Harisudin, Wakil Ketua LTNNU Jawa Timur, Pengurus Pondok Pesantren Kota Alif Laam Mim Surabaya, dan Dosen Pascasarjana IAIN Jember)