Jakarta, NU Online
Krisis Rohingya menjadi sorotan internasional. Meskipun isunya sudah tak lagi terdengar, tetapi belum berarti krisis di sana berhenti. Hal ini menarik Zezen Zainal Muttaqin untuk berbagi pengetahuannya tentang konflik tersebut pada diskusi rutin Islam Nusantara Center di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten pada Sabtu (4/8).
Zezen melihat konflik tersebut bukan sebagai konflik agama. Menurutnya, tragedi di sana merupakan warisan penjajahan yang membuat garis pemisah. Padahal, dulunya mereka menyatu seperti biasa.
"Post Collonial Legacy Conflict (konflik warisan pascakolonialisme)," ujarnya dalam diskusi yang bertajuk Belajar dari Krisis Pengungsi Rohingya dan HAM di Asia Tenggara itu.
Hal itu, lanjutnya, serupa dengan konflik yang terjadi di Mindanao, Filipina, dan Pattani, Thailan. Namun, agama ini dimunculkan sebagai bumbu konflik tersebut. "Menurut saya, agama itu belakangan munculnya," ujar kandidat doktor Universitas California Los Angeles, Amerika Serikat itu.
Ia menerangkan bahwa di sana ada orang-orang minoritas lain, seperti orang Kristen yang berdekatan dengan Tiongkok, orang Hindu yang berdekatan dengan India, dan orang Islam yang dekat dengan Bangladesh. "Awalnya bukan isu agama. Ini isu minoritas etnis saja," katanya.
Kebetulan, lanjutnya, orang Rohingya merupakan Muslim. Kemunculan isunya berbarengan dengan isu global tentang Islam, baik radikalisme maupun islamofobia. "Ini menjadi tambahan-tambahan trigger buat ekskalasi konflik," terangnya, "Ini underline isunya bukan isu agama, tapi isu ethnicity and land," lanjut pria asal Kabupaten Kuningan tersebut.
Mulanya, kata pria yang pernah mengenyam studi di Pondok Pesantren Darul Ulum, Kuningan, Jawa Barat itu, mereka dipinggirkan pada tahun 1962. Kemudian, 20 tahun setelahnya, Myanmar mulai tidak mengakui Rohingya sebagai salah satu etnis negaranya. Di tahun itulah, mereka mulai bereksodus.
Parahnya, beberapa tahun belakangan, para pengungsi itu menjadi korban perdagangan manusia. Buruh bangunan di Malaysia dan buruh kapal di laut lepas adalah dua di antara sekian pekerjaan yang harus mereka lakukan dengan tanpa dibayar sebagaimana budak.
Sementara itu, di Rohingyanya, para penduduk mengalami genosida, pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras. Hal itu sebenarnya, katanya, bisa terjadi dalam konflik ataupun di luarnya. Tetapi, intensinya guna menghapuskan satu etnis tertentu atau melakukan kejahatan besar-besaran tanpa bermaksud menghapus etnisnya. (Syakir NF/Kendi Setiawan)