Makam Ma'la, Jejak Sejarah Islam dan Ulama Nusantara di Tanah Suci
Sabtu, 24 Mei 2025 | 15:00 WIB
Pertama kali menjejakkan kaki di Kota Makkah, Arab Saudi pada 7 Mei 2025 pada siang hari, bus yang membawa saya dari Jeddah melewati makam Ma'la. Memori seketika melayang ke peristiwa meninggalnya ulama kharismatik asal Sarang, Rembang, KH Maimoen Zubair atau Mbah Maimoen. Saat itu juga ingin sekali berziarah ke makam yang juga banyak berisi tokoh-tokoh penting, di antaranya Sayyidah Khadijah binti Khuwailid.
"Tapi entah kapan bisa ke sini," pikir saya di tengah kepadatan jadwal liputan harian di Media Center Haji (MCH) serta melayani jamaah di sektor Masjidil Haram.
Tetiba keinginan itu terlaksana ketika Kepala Seksi MCH PPIH Arab Saudi menugaskan beberapa wartawan untuk meliput aktivitas ziarah dari jamaah haji di Ma'la pada Kamis (22/5/2025), termasuk saya di dalamnya. "Alhamdulillah, keinginan bertemu Mbah Maimoen kesampaian," ucapku dalam hati.
Sampai di depan gerbang maqbarah sore, sekilas kompleks pemakaman sepi peziarah. Namun, setelah masuk di gerbang maqbarah, seketika beberapa rombongan peziarah berdatangan. Nampaknya memang mereka pilih waktu sore hari agar tidak terpapar panasnya Makkah yang jika siang bisa mencapai 45 derajat.
Sebelum melangkah ke makam Sayyidah Khadijah, saya melewati makam KH Maimoen Zubair sehingga saya memasuki pusara Mbah Maimoen terlebih dahulu. Terlihat ada dua orang yang sedang menziarahi makam Mbah Maimoen.
Saya dan sejumlah petugas lain, dan dibimbing oleh Mustasyar Diny PPIH Arab Saudi KH Abdul Moqsith Ghazali langsung jongkok merendahkan kaki untuk berdoa. Beberapa jamaah terlihat berdoa sambil menangis. Saya hanya sebatas badan gemetaran berhadapan dengan makam Mbah Maimoen. Saya teringat disuguhi sayur asem, tempe goreng, dan sambal terasi saat sowan ke ndalem Mbah Maimoen di Pesantren Al-Anwar Sarang tahun 2017 silam. Nikmat sekali.
Selesai berdoa, saya langsung menuju lokasi makam Sayyidah Khadijah, masih dipimpin oleh Kiai Moqsith Ghazali. Setelah selesai memimpin doa, Kiai Moqsith menjelaskan beberapa insight penting tentang makam Ma'la.
Berdiri di jantung Kota Makkah, makam Ma'la sebagai tempat peristirahatan terakhir ribuan warga Makkah. Makam ini juga menyimpan catatan penting dalam perjalanan Islam. Terletak sekitar 1,5 kilometer ke arah utara dari Masjidil Haram, atau sekitar 15-20 menit berjalan kaki, Ma'la menjadi salah satu situs ziarah yang paling sering dikunjungi oleh jamaah haji dan umrah dari berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Makam Ma'la, atau dikenal juga sebagai Al-Mu’alla, jelas Kiai Moqsith, telah ada sejak masa pra-Islam. Di sinilah Sayyidah Khadijah binti Khuwailid, istri pertama Rasulullah Saw dan perempuan pertama yang memeluk Islam dimakamkan. Makam Sayyidah Khadijah menjadi tujuan ziarah yang ramai dikunjungi oleh jamaah haji dari seluruh dunia.
Para jamaah haji yang berasal dari Turki, Bangladesh, dan Indonesia ramai berziarah pada Kamis (22/5/2025) sore waktu Arab Saudi. Sore itu saya juga berkesempatan untuk ziarah ke makam Sayyidah Khadijah. Para peziarah secara bergantian menempati lokasi doa di makam Sayyidah Khadijah yang tidak terlalu lebar. Para peziarah terlihat khusyu menengadahkan tangan di makam Sayyidah Khadijah yang tertutup pagar. Namun, para peziarah masih bisa melihat makam Sayyidah Khadijah di dalamnya.
Selain Sayyidah Khadijah, beberapa sahabat Nabi juga dimakamkan di Ma'la. Di antaranya adalah Qasim bin Muhammad, putra Rasulullah SAW, serta beberapa anggota Bani Hasyim dan keluarga dekat beliau. Banyak ulama dan tokoh Makkah masa lalu juga dimakamkan di sini, menjadikan Ma'la bukan sekadar tempat pemakaman, melainkan juga monumen sejarah yang hidup.
Tempat pertama kali manusia dibangkitkan di hari kiamat
KH Abdul Moqsith Ghazali menjelaskan bahwa makam Ma'la menjadi tempat penting dalam proses kebangkitan umat manusia ketika kiamat nanti. Karena kebangkitan umat manusia akan dimulai dari makam Ma'la.
"Kata Nabi, nanti kalau terjadi kiamat, orang seluruhnya sudah meninggal dunia, kemudian beberapa malaikat dibangkitkan oleh Allah SWT, malaikat Jibril dihidupkan, saya juga dihidupkan kembali, tiba-tiba ada orang berdiri di samping saya, itu namanya Nabi Musa as, maka kemudian yang dibangkitkan berikutnya ialah para penghuni kuburan Ma'la (Makkah) dan para penghuni kuburan Baqi (Madinah). Maka Ma'la dan Baqi ini penting dalam proses kebangkitan pertama umat manusia," kata Kiai Moqsith.
Tempat bersemayam ulama Indonesia
Di dalam makam yang memiliki luas lahan sekitar 50.000 meter persegi atau 5 hektare dan dikelilingi pagar tinggi ini, ada beberapa ulama besar asal Indonesia juga dimakamkan di Ma'la, terutama mereka yang bermukim dan wafat di Makkah.
Di antaranya adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, ulama asal Minangkabau yang pernah menjadi Imam dan khatib di Masjidil Haram serta guru bagi banyak tokoh pergerakan di Indonesia. Ada pula Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, ulama besar asal Banten yang karya-karya kitabnya hingga kini masih digunakan di pesantren-pesantren di Nusantara. Ada juga Syekh Mahfudz Termas.
"Syekh Nawawi Banten menjadi rujukan ulama-ulama Nusantara karena melahirkan banyak murid yang luar biasa besarnya, di antaranya KH Cholil Bangkalan. Yang terakhir yang baru ialah dari Indonesia ialah KH Maimoen Zubair yang makamnya tidak jauh dari makamnya tidak jauh dari Sayyidah Khadijah, ada juga KH Sufyan Miftahul Arifin seorang mursyid thariqah, Rais Syuriyah PCNU Situbondo dimakamkan di sini," jelas Kiai Moqsith.
Selain itu, tercatat pula beberapa tokoh dan jamaah haji Indonesia yang wafat di Tanah Suci dan dimakamkan di Ma'la, terutama pada masa lalu ketika pemakaman jamaah haji lebih sering dilakukan di dekat tempat wafatnya. Keberadaan makam mereka di Ma'la menjadi bukti kedekatan historis dan spiritual antara Indonesia dan Tanah Suci Makkah.
Bagi jamaah haji Indonesia, ziarah ke Ma'la sering menjadi bagian dari city tour atau agenda tambahan selain ibadah inti. Biasanya, ziarah dilakukan pada pagi hari untuk menghindari teriknya matahari atau sore hari. Banyak jamaah merasa haru saat menyaksikan langsung makam Sayyidah Khadijah dan para ulama, yang selama ini hanya mereka kenal dari buku sejarah atau pelajaran agama.
Meski tidak wajib dalam rangkaian ibadah haji, ziarah ke Ma'la memberikan dimensi spiritual tersendiri. Ia menghubungkan jamaah dengan sejarah Islam, menyentuh sisi emosional, dan mengingatkan akan jasa-jasa orang-orang yang telah lebih dahulu memperjuangkan agama ini. Ziarah ini bukan sekadar perjalanan fisik, tapi juga perenungan ruhani.
Dalam pandangan para ulama, ziarah ke makam para shalih merupakan amalan yang dianjurkan selama tidak disertai praktik-praktik menyimpang. Di Ma'la, para peziarah diajak untuk mendoakan penghuni makam, mengenang perjuangan mereka, serta mengambil pelajaran dari kehidupan mereka sebagai teladan.
"Kata Nabi, dulu saya melarang ziarah, tapi sekarang berziarahlah. Jadi ziarah kubur bukan aktivitas bidah karena Nabi Muhammad sendiri meneladankan ziarah kubur. Sebelum wafat, Nabi mengunjungi makam Baqi yang di dalamnya banyak terdapat banyak makam sahabatnya," jelas Kiai Moqsith.
Meskipun kondisi terlihat gersang karena tak satu pun pohon di dalam kompleks pemakaman, di luar pagar Ma'la dikelilingi pohon yang rindang sehingga menambah suasana kesejukan sebelum masuk kompleks makam. Kaum perempuan yang memang tidak diperbolehkan masuk kompleks makam hanya bisa berdoa dari balik pagar. Saat akan meninggalkan pemakaman, terlihat mereka memenuhi makam Ma'la dari balik pagar.
Tepat di depan pintu masuk, terdapat sebuah 'halte'. Tapi bukan halte bus, tetapi halte tempat shalat. Di 'halte' tersebut telah tersedia sajadah portabel bagi siapapun yang ingin shalat langsung menghadap Masjidil Haram dari Ma'la. Makam Ma'la bukan hanya saksi bisu sejarah panjang Kota Makkah, tapi juga pengingat kuat bahwa Islam tumbuh dari pengorbanan, cinta, dan keimanan yang tulus.
Ketemu guru ngaji
Lokasi makam Sayyidah Khadijah sudah dipenuhi peziarah yang antre naik karena makamnya ada di posisi yang lebih tinggi. Saya sempatkan diri mengabadikan momen-momen ziarah ke makam Khadijah. Kemudian saya kembali melewati makam Mbah Maimoen yang sudah dikelilingi jamaah haji berpakaian ihram.
Saya sebagai wartawan ingin mengabdikan momen ziarah para jamaah haji tersebut. Mereka nampak khusyu berdoa. Jamaah yang diketahui dari kloter 14 SOC ini diketuai langsung oleh Ustadz Ahmad Zaki Yamani. Saya sempatkan wawancara dengan Ustadz yang ternyata dari Kabupaten Brebes, Jawa Tengah begitu juga dengan rombongan yang juga berasal dari Brebes.
"Alhamdulillah, kami dapat bertemu dengan Kiai Maimoen Zubair di Makkah meski beda alam. Semoga kami diakui sebagai santrinya," kata Ahmad Zaki Yamani usai memimpin tahlil di makam Mbah Maimoen.
Selesai wawancara, lengan baju petugas saya tiba-tiba ada yang menarik dari belakang. "Toni, Ya Allah, Masyaallah. Ketemu di sini," kata jamaah tersebut dalam bahasa Brebes.
Sesaat saya masih bertanya-tanya karena pangling. Tetapi saya tidak butuh waktu lama untuk mengetahui bahwa beliau ada guru ngaji saya, Mohamad Tafsir. Saya pernah mengkhatamkan ngaji kitab Tafsir Yasin lewat bimbingan beliau saat ngaji pasanan di bulan Ramadhan di mushola kampung.
Sebelum berpisah, saya tak lupa meminta nomor dan mengajak beliau selfie. Beliau lanjut menuju makam Sayyidah Khadijah, sedangkan saya kembali ke media center haji Indonesia. Guru ngaji saya tersebut menginap di wilayah Jarwal, Makkah.
Sebelumnya saya memang sudah mengetahui kabar beliau akan berangkat haji tahun ini. Tetapi saya sendiri belum tahu dia menginap di mana sampai pada akhirnya bertemu di makam KH Maimoen Zubair. Matur nuwun Mbah Maimoen.
Patoni, melaporkan langsung dari Makkah, anggota Media Center Haji (MCH) 2025