Jakarta, NU Online
Musim panas di China telah tiba. Malam makin pendek, sementara siang kian panjang. Tentu puasa yang dijalani umat Islam di sana lebih lama dari pada di Indonesia. Sempitnya waktu setelah terbenamnya matahari itu membuat Sarah Hajar Mahmudah harus memutar otak mengatur waktu buka, tarawih, dan sahur. Perempuan asal Cianjur, Jawa Barat itu menyempatkan bertarawih di sebuah masjid di kota yang kini ia tinggali, Chongqing.
Untuk menuju masjid, ia harus menempuh jarak 40 menit dari kediamannya. “Jaraknya 40 menit naik kereta. Jam sembilan malam baru mulai tarawih, dan selesai sekitar jam setengah 10,” ceritanya kepada NU Online pada Rabu (8/5) malam.
Praktis, ia baru bisa menginjakkan kaki di rumahnya lagi sekitar pukul 11 malam. “Jadi harus kejar-kejaran dengan kereta yang hampir habis untuk pulang ke rumah,” kata perempuan yang pernah aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Ciputat itu.
Karenanya, ia tidak bisa setiap hari shalat tarawih di masjid. Terkadang, ia mencukupkan diri untuk tarawih di rumah atau sekitarnya saja bersama rekan-rekan Ikatan Pelajar Muslim Indonesia (IPMI) Chongqing yang mengadakan tarawih berjamaah di apartemen. Sebagai informasi, jumlah rakaat shalat tarawih di China sama seperti umumnya di Indonesia, 23 rakaat.
“Sedihnya ya jadi gak bisa tiap hari tarawih di masjid karena kendala jarak itu,” ungkapnya.
Mengingat hal tersebut, ia betul-betul harus memanfaatkan waktu yang ada agar tetap stabil dalam menjalankan aktifitas kesehariannya dan perannya sebagai istri bagi suami yang tengah fokus studi di Universitas Chongqing.
“Jadi mungkin siangnya sesempat mungkin tidur siang sebentar dan malamnya diusahakan gak begadang,” pungkasnya. (Syakir NF/Muchlishon)