Nasional

Ajengan Anjurkan Santri Bermain Bola Saat Puasa

Ahad, 11 Juni 2017 | 21:03 WIB

Ajengan Anjurkan Santri Bermain Bola Saat Puasa

ilustrasi: Hallobogor.com

Pada buku “Dongen Enteng ti Pasantren” karya Rahmatullah Affandi sering disingkat RAF, penulisnya mengisahkan pengalaman semasa di pesantren. Kisah tersebut ditulis dalam beberapa cerita, seperti antologi cerpen. 

Pada saat bulan puasa, di buku tersebut, selain mengaji sebagaimana umumnya di pesantren, ajengan menganjurkan untuk bermain sepak bola. 

Sekadar diketahui, ajengan pada cerita tersebut memiliki hobi olahraga seperti sepakbola. Ia sering turut serta bermain bersama santri-santrinya. Tak hanya itu, bahkan ajengan memiliki minat pada kesenian, yaitu menonton tunil (teater) yang diperankan para santrinya dan tembang-tembang Sunda. (halaman 42)

Khusus tentang olahraga sepak bola, RAF menceritakan ajengan tersebut, 

“Ajengan ku anjeun nganjurkeun maen-bal bulan puasa teh. Salian ti itung-itung ngabuburit teh jeung latihan nahan napsuna leuwih enya-enya. Pada terang ieuh, yen lamun keur puasa mah sok dareukeut pisan kana piambekeun teh. Dina maenbal mah nahan napsu ieu teh leuwih beurat. Sabab mun ngambek, salian ti teu hade teh, jeung matak batal puasa deuih ari bulan puasa mah. Naon hartina ngabuburit ari matak batal puasa mah.” “Dongen Enteng ti Pasantren”, halaman 46.

“Kiai menganjurkan main sepak bola pada bulan puasa. Selain untuk menunggu buka puasa, main sepak bola sebagai upaya latihan menahan nafsu. Kita tahu pada saat puasa dekat untuk marah. Pada saat main sepak bola menahan nafsu lebih berat lagi. Jika marah, selain tidak baik, bakal menyebabkan batal puasa. Buat apa ngabuburit jika menyebebakan batal puasa.” 

RAF tidak menyebutkan nama ajengan tersebut. Pada bagian permulaan buku tersebut, RAF menjelaskan profil sang ajengan. Ia menulis seperti ini pada halaman 8, 

“Ajengan tidak pernah sekolah, tak pernah mendapat didikan universitas. Tapi aku yakin, ajengan yang tinggal di kampung itu orang pintar, orang yang otodidak. Caranya dia mengajar, meski dia tidak mendapatkannya dari buku, tapi mudah dimengerti. Meski sering membentak, tapi disegani santri-santrinya. Malahan jadi payung bagi orang-orang kampungnya. Penemuannya asli, bukan dari buku orang lain. Meski begitu, tetap dalam dan mengandung kebenaran. Luas pemikirannya, luhur penemuannya. Singkatnya, bukan orang mentah. Tidak banyak sekarang juga aku menemukan orang seperti ajengan. Pedoman dia, “Tafakur sejam, lebih berguna daripada shalat berjumpalitan enam puluh hari tanpa tafakur.”

RAF yang memang pernah kuliah di perguruan tinggi membandingkan ajengan dengan profesor dalam menjelaskan sesuatu. Misalnya ketika ajengan menjelaskan dengan cara cawokah (mesum), tujuannya agar mudah diingat santri pada halama 8. 

“Kalau mengajar dia sering berkata cawokah (mesum). Belakangan aku menemukan guru besar cawokah, Prof. Mr. Dr Hazairin di Fakultas Hukum. Kalau memberi contoh sengaja memilih contoh-contoh cawokah. “Dengan contoh-contoh semacam itu, mahasiswa tidak mudah lupa. Begitu juga dulu ajengan waktu mengajar sama dengan Hazairin. Padahal Hazairin profesor dengan banyak gelar, sementara ajengan sekolah juga katanya cuma sampai kelas dua sekolah desa.” 

Dongeng Enteng dar Pesantren. Kumpulan cerpen tersebut diterbitkan tahun 1961 dan memperoleh hadiah dari LBBS di tahun yang sama. Menurut Adun Subarsa, kumpulan cerpen otobiografis tersebut digolongkan ke dalam kesusastraan Sunda modern sesudah perang. Nama pengarangnya Rahmatullah Ading Afandie sering disingkat RAF.

Ia lahir di Ciamis 1929 M. Pada zaman Jepang pernah nyantri di pesantren Miftahul Huda Ciamis. Tahun 1976, ia muncul dengan sinetron Si Kabayan di TVRI, tapi dihentikan karena dianggap terlalu tajam. Ketika TVRI cabang Bandung dibuka, RAF muncul lagi dengan sinetron Inohong di Bojongrangkong. (Abdullah Alawi)


Terkait