Akademisi Singapura: Tradisi Penulisan Kitab di NU Jangan Berhenti
Kamis, 23 April 2015 | 13:30 WIB
Makassar, NU Online
Salah satu yang menjadikan Islam Nusantara berakar adalah adanya tradisi kitab kuning yang diwarisikan dari generasi ke generasi. Kitab itu tak hanya dipelajari tapi juga dikembangkan dalam bentuk penulisan.
<>
Demikian pandangan Prof DR Azhar Ibrahim Alwee dari Universiti Nasional Singapura dalam diskusi Pra-Muktamar NU bertema “Islam Nusantara sebagai Islam Mutamaddin Menjadi Tipe Ideal Dunia Islam” di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (22/4) petang.
“Sayangnya di NU tradisi penulisan itu berhenti di abad ke-19,” katanya.
Azhar menyatakan, seharusnya karya ilmiah yang melanjutkan kitab-kitab ulama klasik tidak stagnan. Menurutnya, satu dari akar pemikiran Islam Nusantara terletak pada kesetiaan Muslim Indonesia terhadap turats (tradisi). Akar yang lain adalah pengalaman sejarah islamisasi yang damai, pribumisasi, keterbukaan, dan peran ormas-ormas Islam moderat.
“Pada golongan keras tidak ada yang seperti ini. Adanya hanya tulisan lima lembaran. Islam ‘lembaran’ tentu berbeda dengan Islam dengan tradisi kitab,” tuturnya. Azhar juga menambahkan, dalam beberapa hal pemikiran ulama klasik perlu mendapat revisi seiring dengan perubahan zaman.
Di hadapam ratusan peserta utusan PCNU se-Indonesia timur tersebut, ia juga mengaku kagum dengan karakter keberislaman NU yang kuat di bidang bahtsul masail. Tradisi ini juga mencerminkan adanya kesadaran ilmiah dan dan keterbukaan dalam perbedaan pendapat, termasuk di internal NU sendiri.
Hal ini pula yang tidak ia temukan dalam keberislaman kelompok garis keras yang menekankan pada doktrinasi dan penerbitan fatwa. “Di NU itu rileks. Bahtsul masail sambil rokok, joke-joke, juga debat habis-habisan. Pas jam makan malam, perbedaan tajam itu selesai. Bisa salam-salaman,” katanya disambut senyum hadirin. (Mahbib)