Pekalongan, NU Online
Tasawuf erat kaitannya dengan sikap zuhud. Sikap demikian bukan berarti harus menjadi fakir miskin yang tidak memiliki banyak harta sebagai upaya meninggalkan perkara dunia.
"Zuhud itu harus kaya!" Tegas Nyai Hj Arikhah, dosen UIN Walisongo Semarang saat ditemui NU Online pada Forum Sufi Dunia di Hotel Horison, Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa (9/4).
Konsekuensi kaya itu membuat seseorang untuk berupaya tidak merasakan ketergantungan kepada kekayaannya sebagai bagian dari perkara dunia.
"Bagaimana dia merasakan tidak terpaut dengan kekayaan kalau dia tidak kaya," kata Pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah Besongo, Semarang, Jawa Tengah itu.
Lebih lanjut, Nyai Arikhah mengungkapkan bahwa memberi lebih baik daripada menerima. Kekayaan itu digunakan untuk banyak memberi kepada orang lain.
"Karena kan yadul ulya khairun (tangan di atas lebih baik) semakin dia punya banyak, semakin dia bisa memberi banyak," jelasnya.
Oleh karena itu, menurutnya, tasawuf yang penting adalah melaksanakan perintah Allah SWT. "Jadi gini, pokoknya melakukan perintah Allah. Kerja, kerja, kerja aja yang keras. Urusan hasil serahkan ke Allah," katanya.
Sebab, lanjutnya, tasawuf itu intinya pada pengamalannya, bukan sekadar dibicarakan. Hal ini menurutnya dapat membuat orang tersebut tidak tertipu pada sesuatu yang tampak di mata.
"Sehingga dipuji ataupun dicaci sama saja, yang penting dia tidak ditinggalin dengan yang di sana (Allah SWT, red.)," pungkas Penasehat Pimpinan Wilayah Fatayat NU Jawa Tengah 2011-2016 itu. (Syakir NF/Muhammad Faizin)