Nasional

Bagaimana Pengusaha Nahdliyin Melihat Pertemuan IMF-World Bank di Bali?

Jumat, 12 Oktober 2018 | 07:10 WIB

Bagaimana Pengusaha Nahdliyin Melihat Pertemuan IMF-World Bank di Bali?

IMF-World Bank di Bali (Foto: VOA Indonesia)

Jakarta, NU Online
Annual Meeting International Monetary Fund (IMF)-World Bank Group di Nusa Dua, Bali dibuka Presiden Joko Widodo, Jumat (12/10) hari ini. Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN) yang menjadi salah satu peserta dalam kelompok CSO (Civil Society Organization) mengemukakan pandangannya terkait pertemuan tersebut.

Menurut Ketua Umum Pengurus Pusat HPN Abdul Kholik yang hadir langsung dalam pertemuan tersebut menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan pertemuan rutin tiga tahunan IMF-World Bank yang di selenggarakan di luar Amerika Serikat (AS).

Setiap tahun, lanjut Kholik, mereka mengadakan pertemuan di AS dan tiap tiga tahun di luar AS. Dihadiri 189 negara anggota dan lembaga-lembaga keuangan serta organisasi sosial seluruh dunia yang punya kepentingan terhadap kebijakan IMF-World Bank.

Mereka membahas soal-soal internal antar-anggota dan mendengarkan usulan-usulan banyak pihak unt masukan prioritas program apa yang perlu mendapat perhatian dan perlu diprogramkan IMF-World Bank.

“Pada agenda banyak dipaparkan soal-soal perubahan iklim, energi terbarukan, mengatasi kemiskinan, dan peran wanita dalam dunia usaha,” ujar Kholik, Jumat (12/10) saat dihubungi NU Online.

Dalam pidato pembukaannya, World Bank-IMF menawarkan bantuan kepada Indonesia untuk mengatasi bencana alam. Direktur IMF Christine Lagarde juga memuji Indonesia karena tidak menggunakan plafon yang disediakan IMF. Dalam forum tersebut, kata Kholik, Presiden RI joko Widodo menyatakan, APBN masih mampu mengatasi upaya rekonstruksi akibat bencana. 

“HPN melihat even ini sebagai even yang baik untuk melihat tren isu-isu yang menjadi perhatian dunia khususnya pada sektor kebijakan keuangan dan kebijakan dukungan fasilitas keuangan pada pembangunan di sektor-sektor tertentu,” ungkap Kholik.

Dia menjelaskan, banyak fasilitas grant dan pembiayaan murah yang sudah banyak dimanfaatkan oleh sejumlah lembaga di Indonesia. Menurutnya, organisasi Muslim di Indonesia baru sedikit memanfaatkan ini karena kurangnya wawasan dan pengetahuan bagaimana mengakses fasilitas-fasilitas tersebut.

“Salah satu contohnya adalah ada pengusaha energi terbarukan, sayangnya bukan pengusaha Nahdliyin atau dari organisasi Islam lainnya yang mendapat hibah 100 persen (dengan nilai puluhan miliar) dari MCA untuk membangun pembangkit listrik dengan memanfaatkan bambu untuk membantu melistriki desa-desa di Mentawai, hanya dengan modal pengetahuan dan kemampuan yang baik, menyusun proposal, dan memahami akses pada fasilitas keuangan,” urai Kholik.

Pada even ini, sambungnya, dia mengajukan lagi fasilitas pendanaan murah untuk perluasan yang nilainya ratusan miliar melalui PINA (semacam blue book pembiayaan dari Bappenas, bisa diakses di web Bappenas).

“Yang ingin saya katakan dengan contoh ini adalah bahwa dengan kemampuan dan pengetahuan yang baik, dia dapat berbisnis ‘tanpa modal’ sekaligus mampu membantu ‘umatnya’ memperoleh listrik dengan mendorong isu yang eksotis bagi lembaga-lembaga dunia yaitu isu kemiskinan,” jelasnya.

“Di kalangan Nahdliyin isu eksotis seperti ini sangat banyak, hanya saja kita belum mampu mengolahnya sehingga menarik perhatian lembaga dunia yang dapat men-support pendanaannya,” imbuh Kholik.

Untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan forum pertemuan IMF-World Bank ini, Indonesia harus bersaing ketat dengan sejumlah negara. Dalam pertemuan ini, tercatat 34.220 peserta yang terdiri dari delegasi dan non-delegasi yang berasal dari 189 negara yang hadir. (Fathoni)


Terkait