Cegah Peristiwa Christchurch Berulang, Perlu Keseimbangan Antarpasal Deklarasi HAM
Selasa, 19 Maret 2019 | 03:00 WIB
Jakarta, NU Online
Insiden penembakan jama'ah masjid pada Jumat lalu di Christchurch, Selandia Baru, merupakan suatu tragedi kemanusiaan yang tidak dibenarkan atas dasar apapun. Kejahatan terorisme (violence extremism) yang didasarkan pada kebencian rasial, agama, atau keyakinan tertentu ini telah mengguncang kemanusiaan warga dunia.
Abdul Aziz Wahid, peneliti utama Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPHUI), melihat perlu adanya keseimbangan antara hak kepemilikan senjata tajam dan senjata api sebagaimana tercantum dalam pasal 2 dengan perlindungan hidup warga negara sebagaimana yang tercantum dalam pasal 3 pada Deklarasi HAM PBB.
“Walau kita tidak akan memfokuskan spesifik perihal kontrol negara terhadap kepemilikan senjata api warga negaranya, dalam hal ini, permasalahan tersebut menjadi relevan,” kata Aziz kepada NU Online pada Senin (18/3).
Di samping itu, dua pasal tersebut juga, kata Aziz, harus dilihat bersamaan dengan pasal 18 tentang hak dan kebebasan berkeyakinan dan pasal 19 tentang hak dan kebebasan berpendapat.
“Pencarian titik keseimbangan yang adil dan layak (striking a fair & just balance) antara penegakan pasal 18-19 dengan pasal 2-3 di atas, adalah juga relevan dengan insiden penembakan jama'ah masjid di Christchurch,” ujar cucu KH Abdul Wahid Hasyim ini.
Terutama, lanjut Aziz, bila dilihat bahwa hak asasi untuk menganut dan mengamalkan suatu agama atau keyakinan berada dalam hierarki yang lebih dulu diejawantahkan dan diatur dalam Deklarasi HAM PBB. Setelah itu baru diatur tentang hak asasi kemerdekaan mengemukakan pendapat.
“Keduanya tidak dapat dilihat secara parsial (terpisah-pisah). Sehingga, pelaksanaan dari prinsip freedom of speech and freedom to have opinion (kebebasan berpendapat), hendaknya tidak melanggar kebebasan beragama sekelompok orang lain yang ditarget oleh pihak yang menyatakan pendapat tersebut,” tegasnya.
Terjadi tidaknya defamasi (pencemaran nama baik) atau blasphemy (penghinaan agama) terhadap suatu agama tertentu, karena adanya pendapat yang dinyatakan oleh suatu pihak, bergantung kepada hukum positif nasional di negara tersebut.
Menurutnya, bisa saja hal itu dikategorikan menjadi suatu tindak pidana yang dapat saja dituntut di pengadilan apabila alat buktinya lengkap sesuai dengan peraturan perundangan terkait.
“Tanpa adanya keseimbangan yang adil dan layak antara pelaksanaan hak-hak dasar manusia sebagaimana ditegaskan dalam pasal-pasal Deklarasi HAM PBB di atas, maka tragedi seperti insiden Christchurch mungkin dapat berulang, dengan modus dan pelaku serta target korban yang berbeda,” terang pengurus Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor tersebut. (Syakir NF/Muhammad Faizin)