Kota Banjar, NU Online
Kendati Kabupaten Pasangkayu berada di luar Pulau Jawa dan cukup jauh dari 'pusat' NU, namun kultur ke-NU-annya cukup menonjol. Ritual seperti tahlilan, yasinan, selapanan, pembacaan barzanji dan sebagainya biasa dilakukan oleh masyarakat setempat.
"Awalnya kultur seperti itu memang dibawa oleh orang Jawa yang melakukan transmigrasi puluhan tahun yang lalu. Tapi lama-kelamaan masyarakat 'pribumi' terbiasa," tukas Wakil Ketua PCNU Pasangkayu, Sulawesi Barat (Sulbar), KH Asad kepada NU Online di sela-sela penutupan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Jumat (1/3).
Pasangkayu terletak di ujung utara Provinsi Sulbar, sekitar 276 kilometer dari ibu kota, Mamuju. Secara geografis, Pasangkayu memang cukup terpencil, bahkan namanya nyaris tak terbaca di atlas Indonesia. Namun kondisi keislaman di Pasangkayu cukup membanggakan. Dari total penduduknya yang berjumlah sekitar 200 ribu jiwa, 88 persenya adalah pemeluk agama Islam. Selebihnya adalah pemeluk Kristen, Hindu dan Katolik.
"Dari jumlah itu, mayoritas adalah kultur nahdliyyin," jelas pria yang asli suku Bugis tersebut.
Walaupun demikian, mereka tidak begitu mengenal NU, malah banyak yang tidak tahu apa itu NU. Itu bisa dimaklumi lantaran kultur ke-NU-an mereka tercipta sebagai hasil proses asimilasi dengan warga transmigran asal Jawa.
"Lucunya mereka tidak tahu NU tapi kalau dibilang Muhammadiyah, marah," ucap KH Asad.
Ia menambahkan, kedatangan Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj ke Kabupaten Mamuju Tengah sekitar 3 tahun lalu, sediikit banyak telah memperkenalkan nama NU di Mamuju Tengah dan sekitarnya, termasuk Pasangkayu.
Untuk lebih memperkenalkan NU sekaligus konsolidasi, Asad mengaku sudah dan akan mengadakan silaturrahim antar Pengurus Cabag NU se-wilayah Sulbar. Kebetulan semua kabupaten di Sulbar sudah terbentuk Pengurus Cabang (PC) NU. Masing-masing adalah Mamuju (ibukota Sulbar), Mamuju Tengah, Majene, Polewali Mandar, Pasangkayu, dan Mamasa.
"Kalau PC-nya sudah lengkap, tapi MWC-nya banyak yang belum," urai KH Asad yang.hadir di Munas-Konbes 2019 mewakili PWNU Sulbar.
Menurut KH Asad, konsolidasi akan terus dilakukan untuk melindungi nahdliyyin dari penetrasi aliran yang menyimpang. Sebab, jaringan Islam transnasional sudah agak lama memasuki Sulbar. Misalnya di Mamuju Tengah sudah berdiri masjid dari kelompok mereka. Begitu juga di Pasangkayu, ada masjid yang dikelola kelompok ‘cingkrang’. Walaupun demikian, suasana keagamaan di Pasangkayu dan secara umum di Sulbar, relatif kondusif.
"Kenapa? Karena di sini, saya adalah saya, kamu adalah kamu, sehingga tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya," ulasnya.
Tapi jika kondisi itu dibiarkan, lama kelamaan kultur NU akan terkikis juga karena model dakwah mereka adalah pndekatan sosial, dan sekali-kali dengan menyalah-salahkan kelompok lain sebagaimana biasanya.
"Jadi menurut saya kita tidak hanya perlu pengokohan kultur, tapi juga lambang organisasi (NU). Kita sangat berangan-angan suatu saat Munas-Konbes atau Muktamar NU bisa digelar di Sulbar, untuk syiar yang lebih luas," pungkasnya. (Aryudi AR)