Nasional

Gagasan Kebangsaan, Ciri Khas Ulama Nusantara

Senin, 27 Mei 2019 | 13:00 WIB

Gagasan Kebangsaan, Ciri Khas Ulama Nusantara

Ilustrasi (Antara)

Jakarta, NU Online
Pasca perang dunia pertama, para ulama di Nusantara mulai menelurkan gagasan nasionalisme untuk ditawarkan kepada dunia. Sebuah ide untuk menyatukan bangsa-bangsa yang terpecah dan tercecer lantaran perang. 

Demikian diungkapkan oleh aktivis muda NU Rijal Mumazziq Z. pada Halaqah Ulama Jakarta, di Aula Masjid Jami’ Shodri Asshiddiq, Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur, pada Ahad (26/5).

“Gagasan yang dikemukakan oleh para ulama Nusantara untuk menyatukan bangsa-bangsa itu adalah kemerdekaan tanah air. Frasa al-wathaniyah itu sesungguhnya bisa kita lacak dari perjalanan para ulama negeri ini,” lanjut Gus Rijal.

Ia menjelaskan, di Jawa Timur, Kiai Wahab Hasbullah pulang dari Makkah pada 1914. Dua tahun berselang, yakni pada 1916, bersama Kiai Mas Alwi dan Mas Mansur mendirikan madrasah yang diberi nama Nahdlatul Wathan.

“Mari kita cermati kata wathan,” kata penulis beberapa buku keislaman ini.

Kemudian, jelas Gus Rijal, Muhammadiyah memiliki gerakan untuk melawan penjajah Belanda pada 1918 yang dimotori oleh KH Ahmad Dahlan. Gerakan tersebut diberi nama Hizbul Wathan (HW).

Tak hanya itu, di Nusa Tenggara Barat (NTB), kakek dari Mantan Gubernur Tuan Guru Bajang, yakni TGKH Zainuddin Abdul Majid atau Tuan Guru Zainuddin Pancor mendirikan perkumpulan bernama Nahdlatul Wathan, pada tahun 1953.

“Tidak berselang lama, Guru Hasbiyallah Klender pun mendirikan perguruan, yakni Lembaga Pendidikan Al-Wathoniyah,” jelas Rektor Institut Agama Islam Al-Falah Assuniyah, Jember, Jawa Timur ini.

Menurutnya, demikianlah ciri khas ulama Nusantara. Yakni semakin sepuh, maka akan semakin kuat menanamkan rasa cinta kepada tanah air. Hal ini menjadi khazanah dari peradaban keulamaan di Nusantara.

“Kita tidak pernah mendengar Mbah Maimoen Zubair Rembang berkeinginan untuk menghancurkan Indonesia. Atau Habib Luthfi bin Yahya yang ingin menggulingkan pemerintah. Kenapa? Karena ulama semakin senja usianya maka akan semakin menanamkan pemahaman untuk cinta tanah air,” pungkas Gus Rijal.
 
Pada kesempatan tersebut, hadir Pengasuh Pondok Pesantren Al-Wathoniyah As-Shodriyah KH Ahmad Shodri, Pengurus MUI Jakarta Timur dan MUI se-Jakarta Timur, Pengurus Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) DKI Jakarta, Muballigh Indonesia Bertauhid (MIB), Masyarakat Cinta Masjid (MCM), Aswaja Centre DKI Jakarta, Ikatan Pesantren Indonesia (IPI), dan Pimpinan Pondok Pesantren se-DKI Jakarta.

Selain Gus Rijal yang tampil sebagai narasumber, hadir pula narasumber lainnya yakni Penulis Buku Islam Nusantara Gurutta KH Ahmad Baso dan Sekjend IPI KH Abdul Fattah yang berbicara tentang pemberdayaan ekonomi umat berbasis pesantren. (Aru Elgete/Abdullah Alawi)


Terkait