Nasional

Hak-hak Kaum Difabel Belum Terpenuhi

Kamis, 29 November 2018 | 10:30 WIB

Hak-hak Kaum Difabel Belum Terpenuhi

Diskusi dan Peluncuruan buku 'Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas', Kamis (29/11).

Jakarta, NU Online
Hak-hak para penyandang disabilitas saat ini kurang mendapatkan perhatian. Mereka masih menghadapi banyak tantangan dan hambatan, terutama dalam menjalankan syariat. Di luar keterbatasan fisik, mental dan intelektual kalangan disabilitas, mereka menghadapi sejumlah tantangan lain, yaitu cara pandang, diskriminasi di lapangan kerja, dan hambatan dalam menjalankan agama.

Demikian salah satu persoalan yang mengemuka pada Diskusi dan Peluncuruan buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas, Kamis (29/11) di Aula Kemenko PMK, Jakarta. 

Secara umum, cara pandang terhadap disabilitas didominasi oleh cara pandang mistis dan cara pandang naïf, yaitu menganggap bahwa disabilitas adalah takdir dari Tuhan sehingga manusia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah menjalaninya.

Sementara cara pandang naif melihat bahwa disabilitas adalah akibat dari adanya infeksi penyakit, keturunan, kecelakaan, atau penuaan yang berujung pada pentingnya memberi pendidikan, pelatihan, kursus, keterampilan dan semacamnya, sehingga mereka bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik.

Cara pandang naïf tentu lebih baik ketimbang cara pandang mistis. Namun, keduanya memiliki kelemahan mendasar karena cara pandang keduanya berbasis charity, belas kasihan yang keduanya bermuara pada stigma terhadap kaum disabilitas sebagai kelompok yang lemah, tidak berdaya, tidak memiliki kemampuan, tidak dapat berbuat sesuatu yang berarti, tidak beruntung, sakit, tidak normal, tidak lengkap, dan sejenisnya.

Stigma ini biasanya diikuti dengan berbagai bentuk diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas. Diskriminasi ini tidak hanya dalam fasilitas-fasilitas publik yang tidak memberi akses yang memadai bagi penyandang disabilitas, tetapi terutama akses informasi, pendidikan, dan pekerjaan.

Itulah sebabnya, cara pandang mistis maupun naif harus diimbangi dengan cara pandang kritis bahwa disabilitas bukan hanya soal takdir, juga bukan semata-mata fenomena manusiawi. Disabilitas adalah konstruksi sosial-politik.

Oleh karena itu, tanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak disabilitas tidak hanya dipikul oleh penyandang disabilitas sendiri dan keluarganya, tetapi juga tanggung jawab masyarakat, ormas dan terutama negara (pemerintah). Dengan perspektif ini, maka membangun situasi sosial yang ramah disabilitas adalah kewajiban. Membangun sarana dan prasarana publik yang ramah disabilitas adalah keharusan yang tidak bisa ditolak. Inilah yang diamanatkan dalam UU no. 8 tahun 2016.

Namun UU ini baru berumur dua tahun. Paradigma atau cara pandang masyarakat dan pengambil kebijakan masih terlalu kuat dengan cara pandang lama seperti yang tertuang dalam UU no. 4 tahun 1997. UU inilah yang kemudian direvisi oleh UU no. 8 tahun 2016. 

Sayangnya, hingga saat ini, layanan dan fasilitas publik yang ramah disabilitas masih sangat terbatas. Jalan raya misalnya, tidak sepenuhnya bisa digunakan dengan nyaman oleh penyandang disabilitas. Demikian pula transportasi umum, mulai dari bis (dalam kota maupun antar kota), kereta api, kapal laut hingga pesawat udara.

Kondisi ini tentu saja sangat menyulitkan para penyandang disabilitas, sehingga mereka nyaris selalu butuh bantuan orang lain untuk bisa menjalankan aktivitasnya di luar rumah.

Hambatan lainnya adalah keterbatasan peluang kerja bagi penyandang disabilitas. Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di dunia kerja terlihat dengan kurangnya perhatian pemerintah dalam upaya membantu penyandang disabilitas mendapatkan pekerjaan. Badan-badan usaha milik negara pun terkesan tidak terlalu peduli terhadap kelompok disabilitas. Kantor-kantor pemerintah masih belum semuanya aksesible bagi para penyandang disabilitas. 

Problem lainnya menyangkut pelaksanaan kewajiban keagamaan. Hambatan kalangan disabilitas dalam melaksanakan hak-hak keagamaan nyaris tidak pernah mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun agamawan. Tempat-tempat ibadah misalnya masjid, nyaris tidak ada yang aksesible terhadap disabilitas. (Red: Kendi Setiawan)



Terkait