Yogyakarta, NU Online
Institusi Kasultanan adalah sarana mengabdi kepada Allah SWT. Jadi, Kasultanan bukanlah semata institusi politik-ekonomi. Untuk itu, institusi kasultanan harus dijalankan dengan tulus dalam menjaga dan menegakkan keamanan, ketentraman, kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh warga masyarakat.<>
Demikian ditegaskan Dr KH Hilmy Muhammad, Wakil Katib Syuriah PWNU DIY ketika membacakan penjelasan sikap PWNU DIY terkait sabda Raja HB X di hadapan insan pers di Kantor PWNU DIY, Selasa (2/6).
Kiai Hilmy juga menegaskan, bahwa Kasultanan juga berfungsi menjaga kelestarian dan hubungan harmonis dengan lingkungan alam, dan mengembangkan kebudayaan yang menjadi tuntunan bagi warga masyarakat untuk selalu meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaannya.
Karena sebagai sarana mengabdi kepada Allah, lanjut Kiai Hilmy, maka kasultanan harus selalu memikirkan dampak dan implikasi apapun keputusannya secara jauh ke depan.
“Kemaslahatan harus menjadi pertimbangan utama, yang berarti, ia sudah berhitung secara cermat berbagai kemungkinan sisi kebaikan dan keburukan yang diakibatkan oleh keputusan tersebut. Oleh karena itu, pemimpin tidak semestinya menyatakan bahwa ia tidak tahu bagaimana dampak dari keputusannya. Apalagi, bila terbukti bahwa keputusan itu justru mendeligitimasi kedudukannya sendiri, dan meresahkan masyarakat,” tegas Kiai Hilmy yang juga Pengasuh Pesantren Krapyak.
Poin ini adalah salah satu muatan isi dari sembilan sikap resmi yang disampaikan oleh PWNU DIY tertanggal 14 Sya’ban 1436 H / 1 Juni 2015 M untuk menanggapi kontroversi Sabdaraja Sultan HB X.
Sebagaimana diketahui bersama, Sabdaraja yang disampaikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X pada tanggal 30 April 2015, dan penjelasannya tanggal 8 Mei 2015, yang di antaranya mengubah gelar Ngarso Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi Ngarso Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram, Senopati Ing Ngalogo, Langgeng Ing Bawono Langgeng, Langgeng Ing Toto Panotogomo, telah menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat dan rasa ketidakpastian terhadap masa depan keistimewaan Yogyakarta. (Hendra/Fathoni)