Malik Ibnu Zaman
Kolomnis
Mula-mula Isroh mondok di pesantren yang berjarak dua puluh kilometer dari rumahnya di kaki Gunung Slamet. Penyebab ia dimasukkan ke pondok, tak lain tak bukan karena kelakuannya. Isroh gemar bermain judi, dari mulai judi kartu, ayam, capjiki, hingga lotere. Orang tuanya tentu berharap dengan dimasukkan ke pondok, kelakuannya berubah. Namun bukannya berubah, ia justru malah tetap dengan hobinya. Ia selalu mencuri kesempatan untuk bisa pergi ke alun-alun, hanya sekedar bermain judi.
Entah dari mana sumber suaranya, kelakuan Isroh ini tercium juga oleh kiainya, Kiai Ma’shum. Dipanggillah ia menghadap ke Kiai Ma'shum. "Hati-hati nanti kecanduan sampai tua, terus nanti anak dan cucumu juga ikut-ikutan. Kalau mau kaya jangan main judi, kerja disertai dengan tirakat."
Isroh pun hanya mantuk-mantuk saja. Di dalam hatinya ia terheran-heran. Sebab kiainya kok bisa tahu. Sementara itu ia yakin betul, teman-temannya tak ada yang tahu kalau ia diam-diam sering keluar dari pondok untuk bermain judi.
Sejak dipanggil ke kamar kiainya, ia tak lagi keluar pondok untuk bermain judi. Hari-harinya diisi dengan kegiatan seperti santri lainnya. Dari sekian pelajaran yang diajarkan di pondoknya, ia lebih tertarik pada ilmu kanuragan dan ijazah amalan-amalan.
Menjelang kedatangan Jepang, ia memutuskan untuk melanjutkan nyantri di pondok pesantren terkenal di Cirebon. Tatkala Resolusi Jihad diserukan oleh Kiai Hasyim Asy’ari, Isroh pun turut terjun ke palagan 10 November.
Setelah dari Surabaya ia memutuskan untuk pulang ke Tegal dan bergabung dengan Laskar Hizbullah Tegal. Petualangannya di barisan santri tersebut terhenti manakala terjadi ReRa, reorganisasi dan rasionalisasi di tubuh TNI. Dari situlah kemudian hobi judinya kembali kumat, lumbung padi dan ternak orang tuanya jadi korbannya. Hal ini pula yang mengakibatkan ketika ayahnya meninggal menjelang penyerahan kedaulatan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda, ia hanya mendapatkan sedikit warisan, berupa sepetak lahan.
Kecewa dengan pembagian warisan oleh saudara-saudaranya yang dirasa tidak adil, ia memutuskan untuk berkelana dengan jalan kaki, dari satu makam ke makam lainnya, dari satu kiai ke kiai lainnya. Tujuannya hanya satu: mencari ijazah amalan. Sejauh apa pun melangkah kerinduan pada ibu tak akan pernah bisa hilang. Tahun 1955 ia memutuskan untuk pulang ke kampung halaman, melupakan soal warisan.
Isroh yakin bisa kaya tanpa warisan. Kepulangannya disambut peluk hangat dan tangis dari sang ibunda. Ia mengira Isroh bergabung dengan gerombolan, lalu tewas ditembak tentara. Sebab banyak cerita beredar kalau bekas laskar Hizbullah banyak yang bergabung dengan gerombolan. Atas dasar itulah lahan milik Isroh dijadikan mushala, saudara-saudaranya bergantian mengajar ngaji warga desa.
Lalu ia pun dijodohkan oleh ibunya dengan salah satu kerabat jauh. Namun, pernikahan ini hanya seumur jagung. Penyebabnya tentu saja, ia masih suka berkelana dan tak diberikan nafkah.
Tahun 1957 ia menikah dengan sahabat semasa kecil, Riyah namanya, anak mantan bekel. Tetapi ia masih tetap suka berkelana, untungnya Riyah tak pernah melarang. Hingga ia memiliki anak, Isroh pun masih tetap suka berkelana, meskipun tak seintens ketika belum memiliki anak.
"Apa yang aku lakukan supaya kita bisa menjadi kaya," ujarnya setiap kali istrinya menanyakan apa tujuan dari itu semua.
Segala kebutuhan hidup, Riyah yang menanggung. Riyah berjualan kopi dan cengkeh, selain itu juga membuka jasa pijat bayi. Isroh bukan tanpa usaha. Ia juga membuka jasa, bisa dikatakan jasa klenik. Dari mulai patah tulang, menemukan barang berharga yang hilang, menyembuhkan orang kesurupan, hingga memindahkan jin. Alahasil, ia pun dipanggil dengan nama mbah. Hal ini berbanding terbalik dengan saudara-saudaranya yang dipanggil kiai. Namun usaha itu tak bisa membuat kaya. Sebab pasien lebih yang banyak yang cuman mengucapkan terima kasih saja. Bisa saja sebenarnya ia menentukan nominal. Namun ia tidak berani melakukannya, sebab guru-gurunya melarang melakukan itu.
Ia kembali kambuh hobi judinya. Manakala muncul judi legal yang dibekingi pemerintah, porkas namanya, singkatan dari pekan olahraga ketangkasan, sejenis lotre atau undian berhadiah. Uang yang didapatkannya dari pasiennya, selalu dibelikan porkas. Namun tak pernah sekalipun ia beruntung.
Usianya semakin tua, anak-anaknya sebagian sudah menikah. Isroh pun mulai bertanya-tanya: Apakah dirinya bisa kaya raya? Apakah bisa seperti saudara-saudaranya pergi ke Makkah? Apakah bisa memiliki sawah berhektar-hektar seperti saudaranya? Pertanyaan Isroh kepada dirinya terputus, manakala di meja ruang tengah terdengar keributan. Rupanya keempat anak laki-lakinya sedang menanyakan kepada ibunya, kenapa mereka tak seperti sepupunya yang kaya raya.
"Bapak itu suka judi, berulang kali paman-paman bilang seperti itu,” ujar si bungsu Hudin.
"Benar apa katamu, ia suka berkelana tidak jelas,” timpal anak kedua Soudin.
"Betul, bapak malas orangnya, ingin kaya tetapi tidak mau bekerja. Mana ada uang datang dengan sendirinya,” ujar anak ketiga Koidin.
“Sudah-sudah. Bapak seperti itu bukan karena judi. Tidak seperti saudara-saudara lainnya yang diberikan modal warisan, bapak tak dapat warisan,” ungkap si sulung Idin.
"Sudah deh kang jangan membela bapak, kamu sebelas dua belas sama bapak, suka main judi," timpal Koidin.
Riyah pun hanya diam di kursi. Isroh pun keluar dari kamarnya, menghampiri mereka. Lalu ia duduk berhadapan dengan anak-anaknya yang tengah memperdebatkan perilaku ayah mereka. Ia menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara tenang.
"Bapak dan ibu ingin pergi haji."
Mendengar itu, anak-anaknya saling berpandangan, kaget bukan main. "Duit dari mana?,” celetuk Koidin. “Dari porkas Pak?,” lanjutnya. “Jangan ikut-ikutan saudara bapak lah, mereka kaya, sawahnya berhektar-hektar,” ujar Soudin. Isroh pun menjawab bahwa seburuk apapun orang, pasti ingin meninggal di Mekah.
Koidin menghela nafas panjang, namun tetap bersikap sinis, “Keinginan saja tidak cukup. Banyak orang punya mimpi besar, tapi kalau tidak ada usaha, ya tetap cuma mimpi. Bapak itu terlalu banyak berharap, tapi tak pernah berubah.” “Koidin,” potong Idin, mencoba meredam emosi adiknya.
Ia pun memandangi anaknya satu persatu, “Kalian ingin kaya?”. Keempatnya pun mengangguk pelan. “Bapak akan memberikan masing-masing dari kalian sebuah tirakat.”
Isroh mengatakan kepada Idin, anak sulungnya. Bahwa ia ingin Idin menjalani puasa selama 40 hari dengan sahur dan berbuka hanya makan cabai. Isroh menjelaskan kepada Koidin bahwa ia juga memiliki tirakat sendiri, yaitu hanya boleh makan ketan sekepal saat sahur dan berbuka selama 40 hari.
Lalu Isroh menjelaskan kepada Soudin bahwa ia akan menjalani tirakat yang lebih sederhana, yaitu selama 40 hari hanya boleh makan singkong sebesar ibu jari untuk sahur dan berbuka. Ketika Hudin, si bungsu, dengan cemas bertanya tentang tirakatnya. Isroh memberitahunya bahwa ia harus makan kunyit sebesar ibu jari untuk sahur dan berbuka selama 40 hari.
Hanya Koidin dan Hudin yang berhasil melakukan tirakat itu. Koidin tentu saja dengan mudah dapat melaksanakan itu, sebab tirakatnya tergolong yaitu tidak makan ketan. Meskipun Hudin berhasil, ia hampir sekarat. Soudin meskipun singkong, ia hanya mampu melakukan puasa selama seminggu. Sementara Idin hanya mampu selama 13 hari.
Entah karena tirakat tersebut atau karena memang kerja keras, atau mungkin karena keduanya. Mereka bisa kaya raya. Koidin bisa memiliki sawah berhektar-hektar. Hudin memiliki kebun berhektar-hektar, Soudin menjadi pengusaha kayu. Lalu Idin menjadi pengusaha bangunan. Isroh pun bisa naik haji dan meninggal di Mekah.
Demikianlah cerita ibu mengenai Isroh, mendiang kakeknya. "Lah, Bu, kok kita masih miskin?" tanyaku. “Kakekmu kan gagal tirakatnya, jadi pengusaha bangunan hanya selama 13 tahun. Coba tanya ke kakek sana?"
Dengan langkah perlahan, aku berjalan kaki menuju rumah kakek. Namun, sebelum tanganku sempat menyentuh pintu, paman tiba-tiba muncul dan membukanya lebih dulu. "Tolong ke Agen Link nih, transfer ke nomor ini." Nenek pun muncul di belakangnya. "Jangan mau. Tadi bilangnya buat beli bensin, kuota, rokok, tetapi malah judi online.” Paman pun berlari menghindari omelan nenek.
Aku melangkah masuk, menuju ruang belakang. Kakek sedang duduk di kursi makan. Asap rokok yang dihisapnya melayang perlahan, menyelimuti udara dengan aroma khas.
"Kakek kok tidak seperti Mbah Koidin, Mbah Soudin, Mbah Hudin yang kaya raya?" tanyaku. "Dulu kakek gagal melaksanakan tirakat yaitu buka dan sahur hanya boleh makan cabai. Kakek hanya mampu selama 13 hari."
"Tetapi Mbah So meskipun gagal, dia tetap kaya sampai sekarang?' tanyaku. Bukannya menjawab, kakek malah memberikan aku uang lima ribu, dan memerintahkan aku untuk pergi jajan.
Malik Ibnu Zaman lahir di Tegal Jawa Tengah. Menulis cerpen, puisi, esai, resensi serta karya jurnalistik yang tersebar di beberapa media online. Buku pertamanya sebuah kumpulan cerpen berjudul 'Pengemis yang Kelima' (2024). Akir-akhir ini, tulisannya baik berupa karya jurnalistik maupun cerpen dijadikan bahan kajian untuk jurnal mahasiswa dan peneliti.
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab
3
Pandu Ma’arif NU Agendakan Kemah Internasional di Malang, Usung Tema Kemanusiaan dan Perdamaian
4
Saat Katib Aam PBNU Pimpin Khotbah Wukuf di Arafah
5
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
6
360 Kurban, 360 Berhala: Riwayat Gelap di Balik Idul Adha
Terkini
Lihat Semua